RENUNGAN MARIA DIANGKAT KE SURGA
BERSAMA SANTA PERAWAN MARIA
- Minggu, 14 Agustus 2022
- Injil Luk 1:39-56
- Oleh Romo Thomas Suratno SCJ
Perayaan ini dapat menjadi ungkapan kepercayaan kita akan masa depan kemanusiaan itu sendiri. Percaya bahwa pada satu saat nanti umat manusia seluruhnya akan kembali berada bersama dengan Tuhan di surga.
Hari ini Gereja Katolik merayakan Hari Raya SP Maria diangkat ke surga. Gereja Katolik mengajarkan bahwa Bunda Maria diangkat ke surga, berdasarkan Tradisi Suci yang sudah diimani oleh Gereja sejak lama, namun baru ditetapkan menjadi Dogma melalui pengajaran Bapa Paus Pius XII tanggal 1 November 1950, yang berjudul Munificentimtissimus Deus. Doktrin ini berhubungan dengan Dogma Immaculate Conception (Maria dikandung tanpa noda), yang diajarkan oleh Bapa Paus Pius IX, 8 Desember 1854.
Sementara itu, Umat Kristen non- Katolik banyak yang mempertanyakan hal ini, dan berpikir bahwa Gereja Katolik ‘menciptakan’ Dogma yang tidak berdasarkan Kitab Suci. Sebab bagi mereka sumber Wahyu Ilahi hanyalah Kitab Suci. Berbeda dengan Gereja Katolik, di mana Wahyu Ilahi juga diperoleh dari Tradisi Suci yang telah berakar dan tumbuh di dalam Gereja Katolik, di mana Tradisi Suci ini tidak terpisahkan dari Kitab Suci. Maka hal Maria diangkat ke Surga juga memiliki dasar Kitab Suci, walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit.
Jadi jika Gereja Katolik mengumumkan suatu doktrin, itu sebenarnya hanya mengumumkan apa yang sudah lama diimani oleh Gereja, dan bukannya sesuatu yang baru tiba-tiba ditambahkan. Dengan pengertian yang sama maka Dogma Maria dikandung tanpa noda dan Dogma Maria diangkat ke surga merupakan pengajaran yang telah lama ada dan diimani oleh Gereja, yang nyata ada dalam tulisan para Bapa Gereja.
Pada saat Paus Pius XII mengumumkan Dogma ini, ia menggunakan wewenangnya sebagai Magisterium, dan ia bertindak atas nama Kristus untuk mengajar umatnya. Dikatakan bahwa “…. dengan otoritas dari Tuhan kita Yesus Kristus, dari Rasul Petrus dan Paulus yang Terberkati, dan oleh otoritas kami sendiri, kami mengumumkan, menyatakan dan mendefinisikannya sebagai sebuah dogma yang diwahyukan Allah: bahwa Bunda Tuhan yang tak bernoda, Perawan Maria yang tetap perawan, setelah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi,” (MD 44).
Perlu kita ketahui bahwa Bunda Maria ‘diangkat’ ke surga, dan bukan ‘naik’ ke surga. ‘Diangkat’ berarti bukan karena kekuatannya sendiri melainkan diangkat oleh kuasa Allah, sedangkanYesus ‘naik’ ke surga oleh kekuatan-Nya sendiri. Bagi jemaat Kristen Katolik, peristiwa Bunda Maria diangkat ke surga adalah peringatan akan pengharapan kita, akan kebangkitan badan di akhir zaman, di mana kita sebagai orang beriman, jika hidupnya setia dan taat kepada Allah sampai akhir, maka kitapun akan mengalami apa yang dijanjikan Tuhan itu: bahwa kita akan diangkat ke surga, tubuh dan jiwa untuk kemudian nanti bersatu dengan Dia, Tuhan Yesus dalam kemuliaan surgawi.
Maka, Dogma Maria diangkat ke surga, bukan hanya semata-mata doktrin untuk menghormati Maria, tetapi doktrin itu juga mau menunjukkan bahwa Maria adalah anggota Gereja yang pertama yang diangkat ke surga. Jika kita hidup setia melakukan perintah Allah dan bersatu dengan Kristus, seperti Bunda Maria, maka kita pun pada saat akhir zaman nanti akan diangkat ke surga, jiwa dan badan, seperti dia.
Dengan diangkatnya Bunda Maria ke surga, maka ia yang telah bersatu dengan Yesus akan menyertai kita yang masih berziarah di dunia ini dengan doa-doanya. Karena berpegang bahwa doa orang benar besar kuasanya (Yak 5:16), maka betapa besarlah kuasa doa Bunda Maria yang telah dibenarkan oleh Allah, dengan diangkatnya ke surga.
Dasar yang kuat dari pengangkatan Bunda Maria ke Surga adalah karena Maria adalah Bunda Allah (lih. MD 6,14,21,22,25). Sebab “kemuliaan seseorang terletak dalam menghormati bapanya, dan malu anak ialah ibu ternista” (Sir 3:11). Maka fakta bahwa Kristus mengasihi Bunda-Nya Maria, dan mempersatukannya di dalam misteri kehidupan-Nya, menjadikannya layak bahwa perempuan yang diciptakannya tidak bernoda dan perawan yang dipilih-Nya untuk menjadi ibu-Nya, menjadi seperti Dia, menang dengan jaya atas kematian melalui pengangkatannya ke surga sebagaimana Kristus telah menang atas dosa dan maut melalui Kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga. (Disadur dari: Katolisitas)
Lalu bagaimana kita sekarang dapat mendalami makna perayaan Maria diangkat ke surga itu? Merayakan peristiwa itu kiranya dapat menjadi ungkapan kepercayaan akan masa depan kemanusiaan itu sendiri. Percayalah bahwa pada satu saat nanti umat manusia seluruhnya akan kembali berada bersama dengan Tuhan di surga. Hal ini sering digambarkan bakal terjadi lewat “pemurnian” dengan pelbagai cara seperti halnya tempat penantian, pengadilan terakhir yang memisahkan orang baik dari orang jahat, atau pembersihan/penyucian jiwa kedosaan (di Api Penyucian).
Inti pemikirannya sama, yakni satu ketika nanti kita akan pulih menjadi warga firdaus kembali dan masuk ke sana. Dan kita percaya bahwa itu dapat terjadi karena salah satu dari mansia, yakni dalam hal ini Maria, sudah ada di sana dan kini ia melantarkan atau menjadi ‘pengantara’ doa-doa permohonan kita, dari yang biasa hingga yang aneh-aneh kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Kita acapkali menyadari bahwa Tuhan lebih mendengarkan kita – berkat Bunda Maria – daripada kita mendengarkan-Nya. Dan di samping itu kita juga meyakini Bunda Maria tahu jalan-jalan menyampaikan doa kita kepada Yang Mahakuasa.
Saudara-saudari yang terkasih, hari ini kita bersama merayakan kembalinya satu dari keturunan manusia yang telah ‘terusir’ dari firdaus. Merayakan pulihnya suasana gembira di surga sana. Merayakan kebesaran Tuhan yang dapat membawa kembali manusia ke surga yakni dengan ‘mengangkat SP Maria ke surga’. Merayakan juga kemampuan manusia untuk ‘bekerja sama’ dengan Tuhan. Merayakan seorang yang hidup tulus mengikuti suara hati, di mana dia membiarkan diri dituntun suara hati itu, yang tak lain itu adalah Suara Tuhan dalam dirinya.
Semua itu berkat Tuhan Yesus, yang pernah datang ke dunia melalui Rahim Bunda Maria, karena Maria mau berhamba kepada Tuhan Allah dengan mengikuti kehendak-Nya “aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkatanmu.” Tuhan Yesuslah yang menuntun manusia kembali ke sana. Dia datang sebagai Penyelamat. Tidak mengherankan bahwa yang pernah membawa-Nya masuk ke dunia ini yakni Bunda Maria dengan sendirinya ikut terbawa kembali ke surga.
Dalam warta Injil pada perayaan ini seperti yang kita dengar tadi, Luk 1:39-56, memuat dua bagian, yakni kisah Maria mengunjungi Elizabet (ayat 39-45) dan Kidung Pujian “Magnificat” (ayat 46-56) dan berakhir dengan ayat 56 sebagai penutup kisah. Kita tahu dalam kisahnya bahwa Maria membiarkan Roh Kudus bekerja dalam dirinya. Roh Kudus itulah yang berkarya menjadi ‘suara hati’manusia. Dan suara hatinya itu jugalah yang membuat SP Maria mengucapkan fiatnya, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu!”
Roh yang sama itu juga yang membuat Maria mengidungkan pujian yang diwartakan hari ini. Isinya tak lain adalah pujian Maria kepada Tuhan dengan gembira – Ia itu Allah yang menyelamatkan. Ia membuat hidup ini berarti. Ia membuat penderitaan bermakna. Kemudian terungkap pula pengakuan bahwa Tuhan menyayangi orang-orang yang kecil sehingga mereka menjadi tinggi di mata orang. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa Kebesaran Tuhan yang tidak takut berdekatan dengan orang kecil, bukan karena orang kecil itu romantik, ideal, melainkan karena orang kecil itu dapat memberi-Nya naungan dan mengurangi kesepian-Nya! Orang yang hina dina biasanya ingat Tuhan dan itu cukup membuat-Nya menemukan kembali secercah kegembiraan yang telah hilang dari surga dulu. Ini teologi sehari-hari.
Saudara-saudari yang terkasih, orang sering beranggapan bahwa penderitaan, kemelaratan, ketakberuntungan, aib adalah hukuman dari Tuhan atas kesalahan manusia. Ada anggapan bahwa hukuman bisa juga dikenakan kepada keturunan orang yang bersalah. Entah berapa keturunan? Dosa itu menurun, hukuman berkelanjutan. Namun dalam Kidung Magnificat pendapat seperti ini tidak diikuti. Malah ditegaskan bahwa Tuhan membela orang yang percaya kepadanya yang meminta pertolongan dari-Nya.
Bagaimana dengan orang yang hidupnya beruntung, menikmati kelebihan, tidak kurang suatu apa? Apakah mereka itu akan dikenai malapetaka? Kiranya bukan itulah yang dimaksud. Orang-orang yang beruntung dihimbau agar mengambil sikap seperti Tuhan sendiri, yakni memperhatikan mereka yang kurang beruntung. Samasekali bertolak belakang bila orang membiarkan kekayaan, kedudukan, kepintaran membuat sesama yang kurang beruntung menjadi terpojok atau kurang mendapat kesempatan untuk maju. Inilah yang kiranya hendak disampaikan dalam ayat yang mengatakan bahwa orang congkak hati akan diceraiberaikan, orang berkedudukan akan direndahkan, orang kaya akan disuruh pergi dengan tangan hampa.
Kidung Magnificat mengajak orang-orang, kita semua yang merasa beruntung diberkati oleh Tuhan dengan kelebihan bukan untuk menikmatinya melainkan untuk memungkinkan sesama ikut beruntung, ikut bersukacita. Di sini tidak ditawarkan sebuah teologi penjungkirbalikan nasib, melainkan pelurusan hakikat kehidupan itu sendiri. Kepercayaan akan kebesaran Tuhan tidak bisa dipakai begitu saja untuk memerangi ketimpangan sosial yang mengakibatkan adanya ketidakadilan yang melembaga.
Namun demikian, kepercayaan ini dapat membuat manusia makin peka dan mencari jalan memperbaiki kemanusiaan itu sendiri. Keterbukaan kepada dimensi ilahi akan membuat orang makin lurus, mau menjalankan apa yang dikehendaki Yang Ilahi dan hidup di mana kita pun nantinya akan ‘diangkat’ atau masuk ke dalam kebahagiaan kekal dan akhirnya dapat menikmati hidup dalam persatuan para kudus di surga. Semuanya itu terjadi karena belaskasih kemurahan hati Allah.
DOA:
Ya Allah Bapa di surga, semoga Bunda Maria yang telah Kauangkat ke surga memberi harapan pasti kepada kami yang masih hidup di dunia ini akan dapat juga masuk dalam Kerajaan-Mu. Mampukanlah kami untuk mencontoh teladan Bunda Maria, menjadi kehendak-Mu terjadi atas diri kami dalam hidup sehari-hari. Amin.
LEAVE A COMMENT