RENUNGAN MINGGU BIASA XXI
MELALUI PINTU YANG SEMPIT
- Minggu, 21 Agustus 2022
- Injil: Luk 13:22-30
- Oleh: Romo Thomas Suratno SCJ
Orang yang membesar-besarkan diri akan sulit memasuki pintu Kerajaan Allah. Bahkan, tak mungkin melewatinya tanpa menyesuaikan diri dengan pintu itu.
Warta Injil hari ini (Luk 13:22-30) mengisahkan tentang Yesus yang mengajar dari kota ke kota dan wilayah di sekitarnya dalam perjalanannya menuju ke Yerusalem. Dalam pengajaran-Nya, Dia mengharapkan setiap dari kita jangan terlambat supaya pintu tidak ditutup dan jangan merasa pasti akan selamat tetapi harus berjuang masuk melalui pintu yang sempit. Apa yang dimaksudkan dengan semua ini?
Dalam Luk 13:24-25, kiasan “pintu” dipakai untuk menggambarkan perihal memasuki Kerajaan Allah. Dalam ayat 24 ditampilkan “pintu yang sempit atau yang sesak itu”, sedangkan dalam ayat selanjutnya dikatakan “pintu yang sudah ditutup”. Intinya, bahwa jalan masuk ke dalam Kerajaan Allah tidak mudah. Perlu ada upaya khusus. Orang harus dapat melewati pintu yang sempit dan jangan datang terlambat dan mendapati pintu sudah tertutup.
Mengenai pintu sempit dalam Luk 13:24, ini mengingatkan orang akan bagian khotbah di bukit dalam Injil Matius (Mat 7:13-14) yang menyebutkan pintu sempit ke arah keselamatan dan pintu lebar ke arah kebinasaan. Lalu yang disampaikan dalam Luk 13:25, yaitu orang yang terlambat datang ke perjamuan dan mendapati pintu sudah ditutup banyak kemiripannya dengan nasib lima gadis bodoh yang terlambat menyambut mempelai dalam perumpamaan sepuluh gadis (Mat 25:10-12) yang hanya didapati dalam Injil Matius. Kedua Injil ini sama-sama menyampaikan bahwa sang empunya rumah pesta tidak mengizinkan masuk orang yang datang terlambat, intinya sama.
Orang yang alpa dan datang terlambat akan mendapati pintu sudah ditutup. Tuan rumah tidak akan mengizinkannya masuk. Dari perbandingan itu jelas ada dua macam kata-kata Yesus mengenai pintu, yang pertama pintu yang sempit dan yang kedua pintu yang sudah ditutup. Jadi bukan mengenai pintu yang sama. Maksudnya di sini ialah agar orang makin memikirkan peran masing-masing pintu (sempit dan tertutup) sehubungan dengan hal memasuki Kerajaan Allah.
“Pintu yang sempit” dalam kerap dihubungkan dengan gambaran banyak orang yang berdesak-desakan mau memasuki pintu tertentu. Gambaran seperti ini timbul dari kerancuan dengan pembicaraan mengenai orang yang terlambat masuk dan pintu sudah tertutup. Karena itu, sering ada kesan orang perlu berebut memasuki pintu sebelum ditutup. Apalagi dinasihatkan agar orang berjuang memasuki pintu yang sempit. Tetapi gambaran itu kurang membantu untuk mengerti warta Injil itu sendiri.
Kiasan pintu sempit itu dimaksudkan agar orang makin menyadari keadaan diri sendiri bila ingin benar-benar menjadi warga Kerajaan Allah. Ungkapan kata mengenai sulitnya pintu kecil ini untuk dimasuki sebetulnya menyampaikan ajakan agar orang berani ‘mengecilkan diri’ dalam upaya memasuki Kerajaan Allah. Orang yang membesar-besarkan diri akan sulit memasuki pintu Kerajaan Allah. Bahkan tak mungkin melewatinya tanpa menyesuaikan diri dengan pintu itu.
Di sini ada ajaran yang mendalam dan sekaligus amat nyata. Kerajaan Allah mengajarkan agar orang tahu diri di hadapan Allah yang Mahabesar. Orang yang mengecilkan diri akan mampu mengalami betapa besarnya Allah. Dengan demikian, Yang Ilahi itu betul-betul menjadi bagian kehidupan.
Jadi, pintu yang sempit itu bukan semata-mata batu uji melainkan sebuah pengajaran. Yesus menghimbau, “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit itu!” Tentunya di sini tidak diserukan agar orang berebut melewatinya, mungkin dengan saling menyikut atau saling menjegal, atau membuka bisnis tukang catut jalan masuk ke pintu sempit, atau jadi preman pungutan rohani liar untuk itu.
Nasihat agar berjuang itu ajakan agar orang tekun belajar menerima betapa diri sendiri itu kecil di hadapan Allah yang Mahabesar. Dan bila orang berhasil menjadi kecil, pintu sesempit apapun akan dapat dilalui. Upaya mengecilkan diri ini bukan barang asing. Macam-macam aliran ajaran spiritualitas melatihkannya. Namanya beragam: askese, laku tapa, latihan kerendahan hati, mengosongkan diri, melepaskan kekayaan, dan seterusnya.
Tujuannya sama, yakni membuat diri kecil di hadapan Dia yang Mahabesar itu. Dan upaya ini bukan hanya dalih mencapai keselamatan melainkan menjadi pujian bagi Dia yang sungguh besar itu. Yesus sendiri memberi contoh. Dia makin mengosongkan diri dalam perjalanan ke Yerusalem, sampai nanti menjadi orang yang dina, yang ditolak, disalibkan. Dan justru dengan demikian ia memperoleh Kerajaan Allah bagi umat manusia.
Kemudian, St. Sirilus mengajarkan kepada kita, katanya: “Pintu yang sempit itu menggambarkan kerja keras dan penderitaan para orang kudus. Sebab, seperti sebuah kemenangan menjadi saksi bagi kekuatan para prajurit, demikian juga daya tahan penuh keberanian terhadap usaha dan terhadap cobaan, akan membuat orang menjadi kuat,” (St. Cyril, Catena Aurea, Luk 13:22-30). Di sini Tuhan Yesus mengajarkan bahwa iman harus dibarengi dengan kerja keras, yang membuat orang dapat bertahan menghadapi berbagai cobaan dan godaan.
Dengan kata lain, sebagai murid Kristus kita harus tahan menghadapi berbagai kesulitan hidup dan penderitaan, menjadikan kita semakin kuat di dalam iman, agar “menghasilkan buah kebenaran yang memberi damai kepada mereka yang dilatih oleh-Nya,” (lih. Ibr 12:5,11).
Sebab jika kita telah berhasil melalui pencobaan dengan bantuan rahmat Tuhan, maka kesaksian hidup kita dapat pula membangun iman orang-orang yang mendengarkan pemberitaan kita. Demikianlah, Tuhan menghendaki agar kita—seperti dikatakan Mazmur hari ini—“Pergi ke seluruh dunia dan mewartakan Injil. Sebab kasih setia Tuhan hebat atas kita, dan kesetiaan-Nya sampai selama-lamanya!” (Mzm 117:2)
Semoga sabda Tuhan hari ini membuka mata hati kita, supaya kita dapat menjadi orang-orang yang tak pernah gagal mengenali kebaikan Tuhan dan bersyukur kepada-Nya, baik di waktu senang tetapi terlebih-lebih di waktu susah. Agar kita tetap teguh beriman, walau sedang mengalami kesulitan dan penderitaan. Sebab dengan demikian, kita melakukan perintah Tuhan, yaitu berjuang untuk dapat masuk dalam “pintu yang sesak itu” yang membawa kita kepada keselamatan kekal.
Dengan kesaksian dan pengharapan ini, kita semua dipanggil untuk menjalani kehidupan kita. Yaitu untuk tetap setia beriman kepada Tuhan, apapun keadaan kita, sebab kita percaya Tuhan kita adalah Allah yang terlebih dahulu setia pada kita, dan kesetiaan-Nya sampai selama-lamanya (Mzm 117:2). Ia tak pernah meninggalkan kita, dan Ia akan membawa kita ke tempat di mana Ia berada (lih. Yoh 14:3).
Paus Paulus VI berkata, “Dunia zaman sekarang lebih mau mendengarkan para saksi iman daripada pengajar, dan kalau ia mendengarkan para pengajar, itu disebabkan karena mereka adalah para saksi iman…. Adalah pertama-tama dengan perbuatannya dan hidupnya, Gereja meng-evangelisasi dunia. Dengan kata lain, dengan kesaksian yang hidup tentang kesetiaan kepada Tuhan Yesus…. kesaksian akan kekudusan,” (Pope Paul VI, Evangelii Nuntiandi, 41). Anda dan saya dipanggil untuk mengambil bagian dalam pewartaan Injil ini kepada dunia sekitar kita. Semoga rahmat Tuhan memampukan kita. Amin.
Pintu yang sudah ditutup dalam ayat selanjutnya disampaikan sebagai ajaran agar orang tetap berjaga-jaga. Jangan sampai orang terlalu merasa sudah aman dan berlaku seenaknya atau malah bermain-main menikmati “kebebasan” di luar. Harus diakui bahwa kehidupan beragama sering terlalu membuat orang merasa diri terjamin, merasa pasti akan selamat, dan oleh karena itu orang sering lalai bahwa yang terpenting bukan asal terdaftar dan menjalankan praktek agama melulu, melainkan menekuni keakraban dengan Yang Ilahi.
Ingatlah bahwa orang yang tak diizinkan masuk lalu protes bahwa dia atau mereka telah makan dan minum, maksudnya pernah hidup bersama tuan rumah. Tapi yang namanya “pernah” itu tidak cukup. Bila ini terjadi, semua yang telah dilakukan akan sia-sia belaka, termasuk hidup bersama Yesus di masa lampau. Maka orang diperingatkan agar tetap waspada, berbudi wening/jernih dan pandai-pandai mengenali gerak-gerik hadirnya Yang Ilahi di dalam kehidupan ini.
Bila kepekaan ini tidak tumbuh atau hilang, risikonya orang tidak lagi akan dapat menyadari kapan Yang Ilahi itu datang menyapa dan dalam cara apa. Orang akan mendiamkan-Nya. Orang yang tak bisa peduli akan kehadiran ilahi itu akan terhukum sendiri. Orang ini akan berada di luar dan hanya menjadi mangsa kekuatan-kekuatan jahat. Di situ akan ada tangis dan kertak gigi belaka.
Maka warta Injil hari ini (Luk 13:24-30) sebetulnya mengolah pertanyaan kepada Yesus ‘apakah sedikit saja yang bakal selamat’ (ayat 23). Yesus tidak memberi jawaban yang sudah jadi, ya atau tidak. Ia justru mengajarkan bagaimana mencapai keselamatan itu. Orang diajak agar pandai-pandai mengecilkan diri sehingga bisa masuk ke hadirat ilahi serta menumbuhkan kepekaan terhadap kehadiran-Nya. Keselamatan tidak lagi terbatas pada keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub, melainkan terbuka bagi siapa saja yang mau menghadapkan diri kepada Allah dan peka akan kehadiran-Nya.
Keselamatan tidak disamakan dengan ajaran dalam agama tertentu. Agama memang jalan mendekat ke pada Yang Ilahi. Dan dalam banyak hal menjamin orang sampai kepada-Nya. Lagipula bagi orang yang memeluknya dengan jujur, agama tertentu menjadi jalan yang satu-satunya baginya. Orang juga perlu mempersaksikan kepercayaannya, tentunya caranya tidak hanya satu. Dalam kepercayaan kita, pengutusan Gereja itu adalah hal yang suci yang harus dilaksanakan. Tetapi ada ajakan bagi semua agama agar juga mengecilkan diri dalam klaim keselamatan dan kebenaran ajaran.***
DOA:
Ya Tuhan Allah, kami menyadari bahwa untuk masuk dalam Kerajaan-Mu bukan sesuatu yang mudah namun diperlukan suatu usaha mengecilkan diri, bersikap rendah hati dan tak menyombongkan diri dan selalu tekun mengerjakan apa yang menjadi kehendak-Mu, yakni menjalankan misi perutusan-Mu dengan segala suka-dukanya dengan memberi kesaksian hidup benar di hadapan-Mu. Amin.
LEAVE A COMMENT