RENUNGAN MINGGU BIASA XV
Menjadi Sederhana Sebagaimana Dia
- Minggu, 11 Juli 2021
- Injil: Mrk 6:7-13
- Oleh Romo Thomas Suratno SCJ
Dengan hidup sederhana, kita melatih diri untuk tidak mengarahkan hati pada hal-hal yang ada di dunia ini, melainkan lebih pada hal-hal yang ada di atas, yang merupakan tujuan akhir hidup kita.
Warta Injil minggu ini dari Mrk 6:7-13 sungguh menarik dan menantang bagi setiap orang yang diutus oleh Tuhan Yesus untuk mewartakan Injil Kabar Gembira yang berasal dari- Nya. Tentu tantangan ini bisa membuat para utusan berpikir dua kali karena syarat-syarat yang diajukan oleh Dia kepada para murid-Nya sesuatu yang kalau dipikir-pikir tidak masuk akal di zaman sekarang ini.
Apa yang dimaksudkan dengan itu semua?
Seperti yang kita dengar tadi bahwa para murid memang diperbolehkan membawa tongkat, maksudnya untuk perlindungan terhadap binatang liar; diperkenankan memakai alas kaki atau sandal: untuk bisa menapaki jalan berbatu-batu; silakan pakai satu baju. Sedangkan roti, bekal, dan uang harus ditinggalkan. Begitu juga dengan memakai dua baju tidak diperbolehkan.
Pada waktu itu, perjalanan para murid yang diutus dilakukan tanpa peralatan pendukung yang rumit dan hanya dengan perbekalan yang paling sederhana. Para murid bukanlah malaikat, tentunya mereka membutuhkan jubah, sandal, ikat pinggang, dan tongkat. Namun, mereka diajak untuk tidak mempercayai persediaan melainkan mempercayai orang yang mengutus mereka, yakni Yesus.
Maka, jelaslah bahwa pelayanan sejati Yesus ditandai dengan ketergantungan pada Yesus sendiri, dan ketergantungan pada Yesus ditandai dengan pergi ke mana Yesus mengutus meskipun kekurangan materi dan «pengetahuan» untuk menjawab segala pertanyaan dan masalah.
https://www.youtube.com/watch?v=xjAm7FQw3Gc
Lalu bagaimana hal itu semua dihayati oleh seorang utusan pewarta? Kalau hal itu ditanyakan kepada seorang romo yang notabene bekerja sebagai seorang imam namun sekaligus sebagai pewarta Inji, misalnya, apa yang menurut para Romo merupakan tantangan bagi para imam di zaman ini? Mungkin banyak yang berpikir bahwa seorang romo itu terlalu banyak tugas dan tuntutan dari umat, atau sejenisnya.
Tapi benarkah demikian? Kemungkinan besar bukan itu jawabannya. Bisa jadi jawabannya adalah bukan itu melainkan dan ini menjadi tantangan terbesar,yakni bagaimana para romo zaman ini dapat hidup miskin! Jawaban ini kiranya tidak begitu menarik maka tidak tianggap penting.
Padahal,bagi kehidupan rohani, kemiskinan merupakan salah satu sikap dasar yang diperlukan, agar kita dapat menempatkan Tuhan di atas segalanya. Walaupun kemiskinan yang dimaksud pertama-tama adalah kemiskinan rohani—ketidakterikatan kita dengan benda-benda duniawi— namun harus diakui, dunia sekarang ini menarik kita semua ke arah sebaliknya.
Dewasa ini ada banyak sekali kemudahan, kecanggihan teknologi,dan barang-barang yang mutakhir, yang berusaha memikat kita. Kendaraan, hp, laptop, berbagai peralatan, dan barang lainnya, yang seolah menjadi kebutuhan. Tak ada yang luput dari godaan ini, termasuk para imam dan para biarawan – biarawati.
Walaupun betul bahwa benda-benda tersebut dapat dipergunakan untuk menunjang tugas-tugas panggilan, namun pertanyaannya adalah, apakah kita menjadi begitu terikat dengan benda-benda itu? Sehingga membuat kita menginginkannya, yang lebih canggih, lebih baik, tanpa henti?
Warta Kitab Suci hari minggu ini – tidak hanya Injil tetapi juga kitab Amos 7:12-15; dan Surat Paulus kepada jemaat di Efesus 1:3-14;- pertama-tama mengingatkan panggilan kita untuk tugas menjadi seorang nabi.
Seperti Nabi Amos, kita dipanggil untuk mewartakan kebenaran kepada orang-orang di sekeliling kita. Tidak saja mewartakan dengan kata-kata, tetapi terlebih dengan perbuatan, sebab hanya dengan demikianlah, kita dapat semakin dekat dengan tujuan Allah menciptakan kita.
Sebab kata Rasul Paulus, mengatakan “Allah telah memilih kita, sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya… Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita…. untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu… ” (Ef 1:4,10).
Di dalam Kristus, apakah maksudnya? Rasul Yohanes menjelaskannya demikian, “Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia [Kristus], ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup” (1Yoh 2:6).
Itulah sebabnya, cara hidup dalam kasih dan kesederhanaan, atau “miskin” di hadapan Allah, menjadi penting. Sebab cara hidup seperti itulah yang dipilih oleh Kristus, ketika Ia mengambil rupa sebagai manusia. Ia hidup miskin dan sederhana untuk memberikan diri seutuhnya kepada Allah dan sesama, dan Ia mengajarkan hal serupa kepada para rasul-Nya.
Hal inilah yang nampak jelas dalam diri para imam dalam Gereja Katolik. Mereka mengambil cara hidup Yesus sebagai cara hidup mereka sendiri, dan dengan demikian memberikan teladan yang lebih sempurna, tentang bagaimanakah arti hidup di dalamKristus.
Para imam itulah seperti yang kita kenal yang dikatakan hidup dan berkarya “in persona Christi”, yang bertindak sebagai Kristus secara khusus pada saat memberikan sakramen-sakramen Gereja. Secara khusus,saat mereka mempersembahkan Ekaristi, memberikan absolusi dalam sakramen Pengakuan dosa, mengurapi dalam sakramen Pengurapan orang sakit, dst, Tuhan Yesus sendirilah yang bertindak dalam diri mereka.
Betapa kita perlu mendoakan dan mendukung para imam, agar mereka sungguh dapat hidup sesuai dengan tugas panggilan suci yang mereka terima! Tidak saja pada saat menerimakan sakramen-sakramen, tetapi juga dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Namun bukan berarti Injil hari ini hanya berkenaan dengan hidup dan karya para romoatau para imam. Sebab,pesan pewartaan Injil juga diberikan kepada kita semua yang telah dibaptis.
Injil hari ini mengatakan bahwa setelah mengutus para Rasul berdua-dua, Tuhan Yesus berpesan kepada mereka, agar jangan membawa apa-apa dalam perjalanan mereka kecuali tongkat, jangan pula membawa bekal, uang, dan dua baju (lih. Mrk 6:7-8).
St. Gregoriusmenjelaskan alasan para Rasul diutus berdua-dua, yaitu karena hal yang mereka wartakan, yaitu perintah untuk mengasihi, itu ada dua macam, yaitu kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama; dan cinta kasih tidak dapat diterapkan pada kurang dari dua orang.
Dengan demikian, Kristus mau mengajarkan kepada kita, bahwa orang yang tidak mengasihi sesamanya, tidak dapat mengambil bagian dalam tugas mengajar. Ini mengingatkan agar kita mengasihi dengan perbuatan, dan bukan semata dengan perkataan. Akan sulitlah orang untuk menerima pengajaran tentang kasih, kalau pengajarnya sendiri tidak mampu mengasihi, atau bahkan berseteru dengan orang-orang terdekatnya.
Betapa kita perlu berdoa bagi para pengajar kita, dan juga memeriksa diri sendiri—jika kita adalah pengajar atau orangtua dalam keluarga—agar perkataan yang kita sampaikan sesuai dengan apa yang kita lakukan.
Selain itu, warta Injil hari ini mengingatkan kita untuk tidak menyusahkan diri dengan berbagai keterikatan dengan benda-benda ataupun harta milik. Singkatnya, hidup sederhana. Atau, hidup sederhana itu sendiri merupakan bagian dari pewartaan kita. Sebab dengan hidup sederhana, kita melatih diri untuk tidak mengarahkan hati kepada hal-hal yang ada di dunia ini, namun terlebih kepada hal-hal yang ada di atas, yang merupakan tujuan akhir hidup kita. Dengan hidup sederhana kita menanggalkan keinginan kita sendiri, supaya dapat mengenakan kehendak Tuhan.
Dan yang hendaknya selalu diingat adalah seperti yang diungkapkan dalam Evangelii Nuntiandi14,“Kami ingin menegaskan sekali lagi bahwa tugas untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa merupakan perutusan hakiki dari Gereja.”
Ini merupakan suatu tugas dan perutusan, yang semakin lebih mendesak karena perubahan-perubahan yang meluas dan mendalam di dalam masyarakat zaman sekarang ini. Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam” (EN14). Maka sebagai anggota dan Gereja itu sendiri berarti kita semua diutus untuk mewartakan Injil.
Dikatakan lebih lanjut bahwa,“Lebih-lebih Injil harus diwartakan melalui kesaksian. Ambillah seorang kristen atau sejumlah orang kristen, yang ditengah-tengah masyarakat mereka sendiri, menunjukkan kemampuan mereka untuk memahami dan menerima, untuk membagi hidup dan nasibnya dengan orang lain, solidaritas mereka serta usaha mereka untuk melakukan semua hal luhur dan baik. Marilah kita andaikan bahwa, di samping itu, mereka dengan secara sederhana dan tidak terpengaruhi, memancarkan iman mereka dalam nilai-nilai yang diluar nilai-nilai yang sedang berlaku. Dan harapan mereka ialah pada sesuatu yang tidak kelihatan dan tak seorangpun berani membayangkannya.
Melalui kesaksian tanpa kata-kata ini,orang-orang Kristen membangkitkan pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dihalang-halangi dalam hati orang-orang, yang melihat bagaimanakah orang-orang kristen hidup: Apakah sebabnya mereka seperti ini? Mengapakah mereka hidup secara demikian ini? Apa atau siapakah yang mengilhami mereka? Sebab apakah mereka adaditengah-tengah kita?
Kesaksian semacam ini sudah merupakan suatu pewartaan Kabar Baik dengan secara diam-diam dan suatu hal yang sangat berpengaruh dan efektif”. Dan perlu disadari terus-menerus bahwa semua orang kristen dipanggil untuk memberikan kesaksian ini, dan dengan cara demikian dapat sungguh menjadi penginjil-penginjil sejati (EN 21).
Mungkin sulit, dan menjadi perjuangan seumur hidup, namun di sanalah sesungguhnya terletak kebahagiaan kita yang sejati. Untuk itu, marilah kita senantiasa berdoa kepada yang mengutus kita, Tuhan Yesus, supaya Dia selalu memampukan kita melaksanakan perutusan-Nya, mewartakan Injil dengan memberikan kesaksian hidup sederhana sesuai dengan amanat yang dikatakan oleh-Nya yang kita dengar tadi dalam pewartaan Injil.***
Marilah kita berdoa bersama St. Katharina dari Siena:
“Ya, Allah, kehendak-Mu yang mulia dan kekal adalah agar kami menjadi kudus. Oleh karena itu, jiwa yang ingin menjadi kudus akan menanggalkan keinginannya sendiri dan mengenakan kehendak-Mu. Ya Tuhan, Kekasih jiwaku, kupikir inilah tanda sejati bagi orang-orang yang yang telah dipersatukan dengan Engkau: Mereka melaksanakan kehendak-Mu, seturut apa yang menyenangkan hati-Mu, dan tidak menurut kehendak mereka sendiri, sehingga mereka sungguh diselubungi oleh kehendak-Mu.…. Bantulah kami untuk berjuang, ya Tuhan, agar tanda sejati ini juga ada pada diri kami. Amin.”
LEAVE A COMMENT