RENUNGAN MINGGU BIASA XVI
Menuju Sunyi, Berdoa dan Beristirahat
- Minggu, 18 Juli 2021
- Injil: Mrk 6:30-34
- Oleh: Romo Thomas Suratno SCJ
Hanya dengan keheningan hati, orang akan mampu mendengarkan bisikan lembut yang berasal dari Tuhan.
Ada banyak hal yang bisa kita renungkan bersama berangkat dari warta injil Mrk 6:30-34yang barusan kita dengar bersama tadi. Tapi pada kesempatan ini saya mengajak Saudara sekalian untuk bersama-sama merenungkan satu ajakan yang berasal dari Yesus ‘mari kita pergi ke tempat yang sunyi’.
Berbicara tentang tempat yang sunyi, saya yakin bahwa sekurang-kurangnya pernah dalam hidup, kita mengalami keadaan ini. Tetapi tak jarang ada orang yang takut atau tidak berani berada di tempat yang sunyi. Ada banyak hal yang menjadi alasannya, tetapi alasan klasik yang sering terdengar adalah bahwa sunyi itu membosankan. Apalagi dalam dunia zaman sekarang, orang selalu berusaha untuk mencari yang namanya keramaian.
Naik motor saja masih pasang headset di telinga, ada pula yang sambil terima telpon atau WhatsApp. Kalau pun tidak mencari keramaian sekurang-kurangnya menciptakan keramaian itu sendiri. Ada juga yang takut menciptakan keheningan dan kesunyian dalam hati karena takut pada diri sendiri, pada bayang masa lalu dan sebagainya, solusi instannya mencari keramaian. Dalam Misa Kudus pun, saat hening menghilang karena ingin cepat-cepat selesai dan atau selalu diisi dengan nyanyian. Karena tidak tahu mau apa lagi kalau hanya diam!
https://www.youtube.com/watch?v=slwludlM_gM
Pada kesempatan ini Yesus mengajak kita sekalian, mari kita ke tempat yang sunyi. Yesus tidak mengatakan mari kita ke tempat yang ramai atau yang gaduh dan lain sebagainya. Mengapa harus ke tempat yang sunyi? Karena dengan ke tempat yang sunyi orang diajak untuk masuk ke dalam dirinya sendiri. Menciptakan keheningan dalam diri dan dalam keheningan ini orang akan menemukan siapa dirinya,terlebih menemukan Tuhan dalam keheningan itu sendiri.
Bila kita kembali ke dunia Perjanjian Lama,terutama dalam Kitab Kejadian,di sana dikisahkan bagaimana Allah menciptakan segala sesuatu dalam keheningan. Ataupun dalam Perjanjian Baru, Yesus, sebelum memulai karya-Nya, ia menuju pada kesunyian padang gurun. Bila Allah menjadikan hal-hal yang besar dari sebuah keheningan, bila Yesus mengawali karyanya dengan mengundurkan diri ke tempat yang sunyi, maka bagaimana dengan saya dan anda, kita sekalian?
Hendaknya kita pun berusaha untuk demikian. Berusaha untuk masuk dalam keheningan, mengawali segala sesuatu dengan sebuah keheningan. Tidakkah dalam keheningan kita akan menciptakan keintiman, keakraban bersama Allah atau dengan kata lain, menciptakan suasana hening dalam diri untuk bertemu Tuhan dalam doa, menjalin keakraban bersama Tuhan dalam sebuah keheningan hati. Ajakan Yesus, mari kita ke tempat yang sunyi bukan berarti menghindari keramaian, menghindari orang lain, menghindari kesibukan tetapi sebetulnya adalah sebuah ajakan untuk masuk dalam sebuah keintiman, keakraban dengan Allah dalam doa.
Hanya dengan keheningan hati, orang akan mampu mendengarkan bisikan lembut yang berasal dari Tuhan. Bagaimana mungkin hati yang bising, hati yang hiruk pikuk mampu untuk mendengarkan suara Tuhan? Dan doa yang baik adalah doa yang lahir dari sebuah keheningan, adalah doa yang lahir dari sebuah iman. Tanpa keheningan, tanpa iman maka doa hanya akan menjadi sebuah rutinitas yang hampa tanpa arti. Bagaimana kita bisa mendengar suara Allah bila ada kegaduhan dalam diri kita?Doa yang baik adalah doa yang lahir dari sebuah iman yang mendalam di mana dalam doa itu kita berkata-kata dengan Allah dan tentang Allah. Dalam doa, ungkapkan apa yang ada dalam hatimu dan imanmu karena Allah tahu apa yang menjadi kebutuhanmu.
Kiranya, hal-hal yang besar hanya akan terjadi bila mengawalinya dengan sebuah keheningan, dengan sebuah doa. Maka, mari kita ke tempat yang sunyi, mari kita menemukan Tuhan dalam keheningan. Mari kita jadikan doa sebagai sebuah kebiasaan. Jangan takut untuk masuk dalam sebuah keheningan, karena melalui keheningan kita mencapai kebeningan jiwa dan semakin menyatu dengan Tuhan dalam sebuah relasi penuh keintiman.
Di samping itu, jika kita merasa lelah, mari mengingat apa yang dikatakan Tuhan Yesus, “Marilah ke tempat yang sunyi, …. dan beristirahatlah,” (Mrk 6:31). Artinya, beristirahat adalah sesuatu yang penting, sebab tanpa istirahat, badan kita menjadi lemah, atau malah sakit. Bukan itu saja, … tidakkah kurang istirahat dapat membuat kita menjadi kurang fokus, kurang sabar, dan lekas marah. Akibatnya,orang-orang di sekitar kita dapat menjadi korban, entah itu suami, istri, anak-anak, teman sekelas, rekan sekantor atau rekan sepelayanan. Maka pesan Injil hari ini menjadi sangat relevan bagi kita.
Masalahnya, terkadang kita mencari tempat yang salah atau cara yang salah untuk beristirahat itu. Karenanya, setelah beristirahat, rasa segarnya tidak bertahan lama. Kita mesti jujur melihat bagaimana biasanya kita beristirahat. Apakah di tempat yang sunyi untuk menimba kekuatan dari Tuhan? Atau di tempat yang ramai untuk memuaskan diri dan mengikuti kesenangan daging? Apakah kita beristirahat bersama dengan anggota keluarga atau teman-teman yang dapat membangun iman? Atau bersama orang-orang yang bahkan malah melemahkan iman kita?
Warta Injil hari ini mengajarkan kita cara yang terbaik untuk beristirahat. Yaitu, menyendiri bersama Tuhan, dan bersama dengan orang-orang yang dapat menguatkan kita untuk kembali melayani Tuhan. Supaya ketika kita kembali melakukan tugas-tugas kita, kita memperoleh kekuatan, kesegaran dan semangat yang baru yang bersumber dari Tuhan sendiri.
Bukankah Mazmur mengatakan, “Tuhan adalah Gembalaku…. Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku….” (Mzm 23:1-2). Tuhan Yesus—yang pernah mengalami kelelahan seperti kita—pasti memahami keadaan kita dan akan menolong kita. Sebab Ia berjanji, “Marilah kepadaku, kamu yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu,” (Mat 11:28).
Kelegaan kita pertama-tama datang dari Tuhan, dan bukan dari siapa-siapa atau apa-apa yang lain. Karena itu, St. Agustinus mengatakan bahwa jika jiwa berpaling kepada cara-cara lain dan bukan kepada Tuhan, jiwa itu akan menemukan kepedihan, kesakitan (Confession, 4,10,15). Sedikitnya, kepedihan karena telah menyingkirkan Tuhan, Sumber air hidup yang sejati. Bukankah kita memiliki begitu banyak contoh nyata dalam kehidupan yang menunjukkan hal ini? Banyak orang mencari istirahat di tempat yang salah, yang bukannya memberi kelegaan jiwa, tetapi malah mendatangkan resiko kebinasaan jiwa.
Contonya antara lain: kecanduan obat, minuman keras, dugem, seks bebas ataupun pornografi. Nah, terhadap hal ini kembali St. Agustinus mengatakan, “Apa maksudmu untuk bersusah-susah menjalani cara-cara yang menyakitkan itu? Tak ada istirahat di mana kamu mencarinya. Silakan terus mencari, tapi jangan di tempat di mana kamu mencarinya. Kamu mencari hidup bahagia di tempat kematian… Sebab bagaimana dapat ditemukan kebahagiaan hidup, di tempat di mana bahkan tidak ada kehidupan?”(Confession, 4,12,18).
Mungkin saja, istirahat kita tidak “seekstrim” contoh tadi yang saya sebutkan. Bisa saja, istirahat kita hanyalah tidur, atau makan di rumah makan, nonton film, jalan-jalan ke mall, atau sekadar berkunjung ke rumah teman. Tapi pertanyaannya adalah, apakah istirahat semacam itu sudah cukup? Oleh karena itu, sebenarnya hari libur atau istirahat bukanlah waktu yang dimaksudkan agar kita bersantai tidak melakukan apapun, asalkan badan merasa enak. Saat istirahat memang kita melepas kelelahan jasmani, namun sebenarnya kita pun perlu memberi perhatian kepada kelelahan rohani.
Mengapa? Sebab,pada dasarnya, istirahat merupakan waktu pemulihan, untuk menimba kekuatan, membentuk cita-cita, dan membuat rencana untuk menghadapi hari-hari selanjutnya. Dengan demikian, waktu istirahat adalah waktu untuk memperkaya jiwa, untuk memberi kesempatan kasih Allah berkarya di dalam kita, agar kita dapat menumbuhkan kembali devosi-devosi yang dapat mengantar kita kepada keeratan hubungan kasih dengan Tuhan.
Dengan demikian kita mempunyai kekuatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan kasih kepada sesama, baik yang paling sederhana sekalipun, maupun yang tersulit karena berlawanan dengan tendensi kita sebagai manusia. Contohnya, untuk tersenyum dan menyapa terlebih dahulu orang yang telah menyakiti hati kita, dan mendoakannya. Tanpa kekuatan yang dari Tuhan, tak mungkin kita dapat melakukan hal semacam ini. Namun, dengan kekuatan dari-Nya, tak ada yang mustahil.
Seberapapun pentingnya istirahat bagi kita, namun warta Injil hari ini juga mengingatkan satu hal yang lain. Yaitu,agar kita tetap menempatkan kepentingan orang lain terlebih dahulu, di atas kepentingan kita untuk beristirahat. Sebab demikianlah yang dilakukan oleh Kristus dan para rasul-Nya, ketika melihat begitu banyaknya orang yang datang kepada mereka, karena mereka “seperti domba yang tidak mempunyai gembala,” (Mrk 6:34). Hari itu baik Yesus maupun para murid-Nya tidak jadi beristirahat.
Maka dari itu, dua hal yang perlu kita perhatikan dan renungkan melalui warta Injil hari ini, yakni:
Pertama, mencari dan menemukan keheningan, di mana kita bisa bertemu dengan Tuhan dan mendengarkan bisikan suara-Nya, menemukan keinginan-Nya, dan membangkitkan hasrat ingin selalu melakukan kehendak-Nya.
Lalu yang kedua, Mengikuti teladan Yesus itu, adakalanya kita pun harus menunda istirahat kita, demi melayani orang-orang yang membutuhkan perhatian dan pertolongan kita. Jika kita mengalami keadaan ini, marilah kita dengan siap sedia melakukannya. Mungkin saja ini merupakan kesempatan yang diberikan Tuhan untuk melatih agar kita tidak mengandalkan rencana kita sendiri, tetapi menyerahkan segalanya ke dalam rencana-Nya. Termasuk dalam hal kapan dan bagaimana caranya Tuhan akan menyegarkan kita.***
DOA:
“Ya Tuhan Yesus, Engkaulah Gembalaku. Aku tak akan berkekurangan. Kumohon, bimbinglah aku selalu ke air yang tenang, dan senantiasa segarkanlah jiwaku. Maka aku akan menikmati hidup dalam belas kasih-Mu dan merasa bahagia hidup bersama-Mu. Amin.”
LEAVE A COMMENT