RENUNGAN HARI MINGGU PRAPASKAH II, Minggu 5 Maret 2023
RENUNGAN HARI MINGGU PRAPASKAH II, Minggu 5 Maret 2023
MEMANDANG KEMULIAAN ALLAH
- Minggu, 5 Maret 2023
- Injil Mat 17:1-9
- Oleh Romo Thomas Suratno SCJ
“Kebahagiaan sesungguhnya tidak tergantung tempat ini atau itu, namun tergantung pada keterpautan jiwa kita dengan Tuhan, seperti para murid yang berbahagia ketika memandang kemuliaan Tuhan.”
Warta Injil pada hari Minggu PraPaskah II ini diambil dari Mat 17:1-9 yang mengisahkan tentang Yesus yang menampakkan kemualiaan-Nya. Tadi disebutkan dalam peristiwa di gunung itu wajah Yesus berubah menjadi bercahaya bagaikan matahari dan jubahnya menjadi putih berkilauan. Matahari sifatnya cerah, bahkan menyilaukan. Tetapi sinarnya memancar bagi siapa saja yang mau menerimanya. Apa maksudnya? Kiranya hendak dikatakan bahwa pada saat-saat itu ketiga murid yang diajak naik ke gunung sempat mengalami kebesaran Yesus yang memang menyilaukan pandangan, tetapi kebesarannya dapat dirasakan semua orang. Dapat diterima tapi juga dapat dijauhi. Juga pakaian putih yang berkilauan ada artinya. Pakaian menampakkan sosok orang yang mengenakannya. Begitulah Yesus kini tampak memancarkan cahaya. Tak ada kegelapan dalam sosoknya. Siapa yang mengikuti akan menemukan terang.
Menarik untuk dicermati dan direnungkan bahwa dalam penampakan kemulian tadi tampil pula Musa dan Elia. Bagi orang Yahudi kedua-duanya ialah tokoh-tokoh besar Perjanjian Lama yang juga pernah mengalami penampakan kebesaran ilahi secara khusus. Musa mengalaminya di puncak gunung Sinai ketika menerima Taurat (Kel 19:16-19). Kejadian itu diiringi awan tebal, guruh, dan halilintar yang menakutkan. Amat berbeda penampakan kepada Elia di gunung Horeb (1Raj 19:11-13). Di situ Allah justru menampakkan diri dalam suasana tenang, disertai hembusan angin sepoi-sepoi. Jelaslah bahwa Yang Maha Kuasa dapat menampakkan kemuliaan-Nya dalam cara yang menggentarkan, tapi juga bisa dengan cara yang lembut. Kini kedua tokoh itu mengalami penampakan dengan cara lain lagi. Tetapi mereka tak merasa asing dengan kehadiran ilahi yang baru ini. Disebutkan bahwa mereka “berbicara” dengan Yesus yang menampakkan kemuliaannya. Penampakan ilahi yang sejati ini bisa diakrabi, diwacanakan, bukan hanya mengejutkan, bukan kejadian yang hanya menggugah sensasi dan keingintahuan belaka.
Sadarilah peristiwa di gunung ini disampaikan sesudah pernyataan Yesus yang pertama kalinya bahwa anak manusia, yakni dirinya, akan dimusuhi orang-orang di Yerusalem, menderita, dibunuh, tapi akan dibangkitkan pada hari ketiga. Pernyataan itu sendiri langsung mengikuti penegasan Petrus bahwa Yesus itu Mesias. Dapat disimpulkan bahwa Yesus didukung oleh Musa dan Elia, dua orang terpercaya yang sungguh mengenal kehadiran ilahi di dunia ini. Kemudian kalau kita bandingkan dengan apa yang tersaji dalam Injil Lukas, penginjil mengolah lebih jauh kehadiran kedua tokoh Perjanjian Lama tadi dengan mengatakan bahwa mereka berbicara dengan Yesus mengenai “tujuan perjalanannya” (Luk 9:31). Memang Yesus ketika itu sedang berjalan menuju ke Yerusalem, tempat kemuliaan-Nya nanti terwujud sepenuhnya. Tujuan perjalanan yang berakhir di Yerusalem nanti itulah yang bakal menjadi “keluaran” baru bagi kemanusiaan. Inilah jalan yang sedang ditempuh Yesus untuk membawa keluar kemanusiaan dari perbudakan dosa menuju kepada keselamatan.
Kemudian suara dari surga yang terdengar ketiga murid tadi diutarakan kembali oleh penginjil Matius sebagai “Inilah anak-Ku yang terkasih, kepadanya Aku berkenan, dengarkanlah dia!” (Mat 17:5). Injil Markus mengutarakan peristiwa yang sama sebagai “Inilah anak-Ku yang terkasih, kepadanya Aku berkenan, dengarkanlah dia!” (Mrk 9:7). Matius menambahkan “kepadanya Aku berkenan” sehingga jelas bahwa Yesus sungguh mendapat restu serta kuasa dari Yang Maha Kuasa untuk menghadirkan-Nya. Dalam diri-Nya kini tampil Sang Maha Kuasa sendiri. Pada Injil Lukas didapati “Inilah anak-Ku yang Kupilih…” (Luk 9:35). Yesus inilah orang yang dipilih untuk membawakan wajah sang ilahi sendiri. Memang dalam pandangan orang Yahudi waktu itu, “Anak yang terkasih” menghadirkan Bapa-Nya. Namun, bagaimanapun juga ketiga-tiganya mengatakan “dengarkanlah dia!” (Mrk 9:7). Ada ajakan untuk mendengarkan dia yang menurut Matius telah mendapat perkenan Yang Mahakuasa dan menurut Lukas adalah orang pilihan-Nya sendiri.
Dari semuanya tadi, yang dikatakan itu mengungkapkan pengalaman batin yang terolah, baik oleh para murid yang diajak Yesus tadi maupun oleh komunitas (bukan orang perorangan) yang mendalaminya seperti komunitas Markus, komunitas Matius, dan juga komunitas Lukas. Inilah kenyataan betapa sabda ilahi itu hidup. Tidak berhenti sebagai suara belaka, melainkan mengikutsertakan pengertian serta pengalaman orang-orang yang mendengarnya.
Akhirnya, kita dapat menyimak kekhususan warta Injil Matius. Menurut Matius murid-murid tersungkur ketakutan ketika mendengar suara itu (Mat 17:6). Tetapi Yesus kemudian menyentuh mereka sambil menyuruh mereka berdiri dan jangan takut. Kata-kata menyuruh agar jangan takut biasanya hanya diucapkan oleh tokoh yang amat besar kuasanya, sedemikian besarnya sehingga dapat dikatakan bahwa Allah sendiri ada padanya. Inilah cara penginjil Matius menyampaikan kepada pembaca atau pendengarnya bahwa Yesus ialah orang yang disertai Allah sepenuhnya, yang mendapat perkenan-Nya. Para pembaca dapat pula memanfaatkan pendalaman Matius ini.
Penglihatan di gunung ini hanyalah dialami oleh tiga orang murid saja, yaitu Petrus, Yakobus, dan Yohanes. Mereka dipesan oleh Yesus agar jangan menceritakan kepada siapapun sebelum Anak Manusia dibangkitkan dari antara orang mati (Mat 9:10). Akan tetapi sekarang kita semua mendengarnya. Memang ini terjadi setelah Yesus telah dibangkitkan dari mati. Setelah Paskah.
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa tadinya para murid yang terdekat pun – Petrus, Yakobus, dan Yohanes – belum seutuhnya menyadari pengalaman mereka sendiri. Mereka butuh waktu untuk menggarapnya dan mengendapkannya. Karena itulah dipesan agar tidak mengobral pengalaman yang belum utuh terolah. Perkara yang dipersaksikan perlu terjadi lebih dahulu. Yesus masih harus menanggung salib sampai wafat dan mencapai kebangkitan. Baru setelah itu mereka boleh membicarakan kepada orang banyak bahwa memang dia itu patut didengarkan. Inilah maksud larangan membicarakan yang mereka lihat tadi. Para pembaca Injil boleh merasa beruntung dapat menikmati buah pengalaman yang telah matang tadi.
Tentu saja peristiwa penampakan Yesus di gunung ini merupakan kenangan manis bagi para rasul yang mengalaminya. Bahkan bertahun-tahun kemudian, Rasul Petrus sendiri menuliskan kenangan ini dalam suratnya kepada Gereja, sebagai kesaksian untuk meneguhkan iman jemaat: “Kami menyaksikan…. suara dari yang Maha mulia… “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (lih.2 Pet 1:17-18). Maka Gereja memiliki pengharapan bahwa Kristus akan datang kembali dalam kemuliaan. Tidak mengherankan jika St. Leo Agung mengajarkan, “Tujuan utama dari Transfigurasi adalah untuk menghalau kegelisahan dalam jiwa para murid akan kekejaman penyaliban Kristus.”
Pandangan akan kemuliaan Tuhan, memberikan kebahagiaan kepada para Rasul itu. Saking bahagianya, Rasul Petrus ingin membangun tiga buah tenda bagi Yesus, Nabi Musa dan Elia, mungkin agar kebahagiaan itu berlangsung lebih lama. Namun, Injil Lukas yang juga memuat kisah ini, menyatakan, “Tetapi Petrus tidak tahu apa yang dikatakannya itu.” (Luk 9:33). Mungkin baru setelah kebangkitan Yesus, kenaikan-Nya ke Surga dan atas bimbingan Roh Kudus, para Rasul mengetahui bahwa kebahagiaan sesungguhnya tidak tergantung dari berada di tempat ini atau itu, namun pada keterpautan jiwa kita dengan Tuhan Yesus. Jika kita berpaut pada Yesus, tidaklah menjadi masalah, apakah hidup kita sedang berjalan mulus, atau tidak; apakah kita sedang sehat, atau sedang sakit.
Tuhan Yesus menopang kita, dan akan selalu menyertai dan menghibur kita. Ia menghendaki agar pengharapan akan kemuliaan surgawi yang dijanjikan-Nya, dapat memberi semangat kepada kita, untuk menjalani hidup ini. Kristus menghendaki agar kita menajamkan mata rohani kita, supaya kita dapat melihat Dia dalam diri orang-orang di sekeliling kita: suami, istri, anak- anak kita; ataupun dalam diri orang-orang yang kita jumpai setiap hari, dan terutama, yang membutuhkan pertolongan kita. Sukacita yang dialami dalam doa bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk melarikan diri dari tugas dan kesulitan sehari-hari. Justru maksud Tuhan adalah agar kita memperoleh kekuatan baru untuk menghadapinya bersama dengan Dia, dan menemukan makna hidup kita.
Bagi umat beriman, kita semua, menerima Ekaristi itu sesuatu yang sangat penting. Dialah sumber dan puncak kehidupan kita. Dialah kekuatan kita. Maka kita dapat merasakan tenggelam dalam keadaan suka cita yang tak terkatakan bila menerima dan menyantap-Nya. Kita akan mengalami penghiburan Terang Tuhan dalam Ekaristi, yang menghalau kegelapan hidupnya sebagai seseorang yang sering mengalami ketakberdayaan dalam menghadapi persoalan hidup. Kristus memampukan kita untuk mempersembahkan hidup kepada Tuhan. Rasanya kita dapat memberikan kesaksian tentang itu dan dapat membawa banyak orang kepada Kristus. Kesaksian hidup kita menunjukkan bahwa tidak ada suatu penyakit, kesesakan, atau kuasa apapun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus (lih. Rom 8:35-39), yang suatu saat nanti akan menyambut kita dalam Terang-Nya yang abadi.
Semoga kita sungguh dapat mengalami Terang Tuhan dalam Ekaristi yang memberi pengharapan hidup kekal abadi.
DOA:
Ya Yesus Kristus, Tuhan dan Allah kami, kami mengucap syukur dan terimakasih atas pengalaman hidup bersama dan bersatu dengan-Mu dalam Ekaristi yang mahakudus, yang menguatkan kami selalu untuk dapat beraktivitas dalam dunia nyata yang kami tempati ini dengan mampu menghadapi segala cobaan dan rintangan yang dapat menggoyahkan iman kami untuk mencapai keselamatan yang berasal dari-Mu. Amin.
Semoga Allah yang mahakuasa memberkati saudara sekalian, Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.
LEAVE A COMMENT