RENUNGAN HARI MINGGU BIASA V, Minggu 05 Februari 2023

RENUNGAN HARI MINGGU BIASA V, Minggu 05 Februari 2023

RENUNGAN HARI MINGGU BIASA V, Minggu 5 Februari 2023

MENGHADIRKAN BAPA DI DUNIA

 

  • Minggu, 5 Februari 2023
  • Injil Mat. 5:13-16.
  • Oleh Romo Thomas Suratno SCJ

Menjadi garam dan terang Dunia berarti sikap hidup menjadi bentuk kehadiran Bapa di dunia. Namun, kehadiran itu tidak dapat dipaksakan. Hanya bisa dipersaksikan.”

Warta Injil minggu ini diambil dari Mat 5:13-16, dan seperti yang tadi kita dengar dikatakan bahwa para murid itu adalah “garam” dan “terang” bagi dunia. Pernyataan ini kerap dimengerti sebagai imbauan agar orang berusaha sekuat tenaga menjadi dan menggarami dunia serta meneranginya. Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa (1) para murid itu “belum” menjadi garam dan terang, kemudian (2) dunia ini seakan-akan tempat yang sudah hambar dan gelap belaka dan karena itu perlu diselamatkan. Lalu pertanyaannya adalah: Itukah yang hendak diajarkan Yesus kepada para murid-Nya? Sebenarnya, Injil sesungguhnya mengajarkan hal lain, yakni para murid itu sudah garam dan terang, lalu yang diharapkan adalah agar para murid tidak membiarkan diri luntur identitasnya dan yang berakibat bakal didiamkan orang. Maka, dengan kata lain, para murid itu agar tetap sebagai “garam” dan “terang” bagi dunia.

Seperti yang tadi dengar bersama dinyatakan dan bukan diperintahkan, yakni bahwa Murid-murid itu disebut “Kamulah garam dunia…!”  Bukannya diserukan agar mereka “menjadi” garam. Yang dimaksud ialah agar mereka tetap sebagai garam. Perkaranya, bagaimana bila dayanya hilang dan jadi hambar? Ini terjadi bila murid kehilangan identitasnya. Garam yang hambar tak berguna, bakal dibuang, diinjak-injak. Hal ini mau menggambarkan bahwa murid yang tidak bisa ikut membuat dunia ini makin awet dan enak didiami melalui dirinya dengan sendirinya tidak menyumbang banyak bagi kebahagiaan hidup bersama di dunia ini sebagai orang beriman.

 

 

Konteks persoalan yang dihadapi para murid dalam pembicaraan mengenai garam dan terang dunia ini adalah kelanjutan dari pengajaran Sabda bahagia minggu lalu, yang taklain, menyangkut diri para murid sendiri. Yakni, para murid yang merasa dimusuhi karena melakukan kehendak Allah, dicela dan diperlakukan buruk karena Yesus. Kemudian, walaupun demikian, mereka diharapkan tetap bersuka cita dan bergembira, dalam bahasa sekarang, tidak kehilangan harga diri. Dalam konteks inilah pengajaran mengenai garam dan terang tampil sebagai pengajaran mengenai hidup para murid selanjutnya. Mereka diminta agar tetap sebagai garam dan terang kendati mereka dimusuhi. Mereka diharapkan berteguh dalam kesulitan. Kalau hal ini dihayati dengan penuh iman, inilah yang bakal membuat mereka ikut disebut “berbahagia”.

Pertanyaan reflektif yang kiranya dapat kita renungkan adalah bisakah orang tetap menjadi atau bertahan sebagai garam dan terang di dalam masyarakat majemuk dan yang rumit seperti masyarakat zaman ini? Di mana orang tak bisa tinggal hanya di dalam kelompok sendiri. Mau tak mau akan ikut berperan di dalam dunia yang beragam ini? Bisakah orang tetap punya identitas? Ya seperti garam yang ditaburkan memberi rasa pada sayur. Begitu pula terang menyinari seluruh ruangan, tidak terbatas di satu sudut saja. Sadarilah bahwa bila ada tempat yang tidak kena terang atau tidak tergarami, itu karena ada penghalangnya.

Dalam masyarakat yang beragam, para murid tidak hanya menggarami kelompoknya sendiri atau menerangi pada lingkungan terbatas. Katakan saja “garam dan terang dunia” itu membola dunia. Bila hanya setempat-setempat saja, maka hidup sebagai garam dan terang “bagi dunia” itu rasanya koq hanya tetap wacana belaka. Di era yang makin mengalami globalisasi ini, makin besar pula peran garam dan terang tadi. Ingatlah yang tidak menjalankannya akan menjauhi kenyataan dan menjadi hambar, ambles, padam, tak masuk hitungan.

Hidup sebagai garam bukan berarti terjun mengasinkan orang-orang lain dengan menonjolkan ibadat serta rumus-rumus kepercayaan sendiri. Itu justru arah yang semakin ke diri sendiri, makin “nyungsang” kata orang Jawa. Garam itu seharusnya meluas, tidak menyempit. Hidup sebagai terang seharusnya terpancar ke luar, bukan hanya ke dalam.

Kalau tadi kita mendengar bahwa“Hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga.”Kiranya hal ini oleh para murid dapat dijadikan pegangan manakala mereka diminta agar melakukan perbuatan yang bakal membuat orang-orang bisa memuliakan Bapa yang ada di surga. Maksudnya ialah agar perbuatan dan tingkah laku para murid itu menjadi bentuk kehadiran Bapa di dunia ini. Namun, kehadiran seperti ini tidak dapat dipaksa-paksakan kepada orang banyak. Hanya bisa dipersaksikan. Maka tindakan yang paling bijak ialah membuat agar didengar dan dikenal terlebih dulu secara apa adanya.

St. Agustinus mengingatkan kita, bahwa menjadi garam dan terang dunia yang bermakna itu sesungguhnya membutuhkan perjuangan. Namun jika dilakukan, hal itu akan membawa kebaikan, bagi kehidupan kita dan juga kehidupan sesama kita. Kejujuran, pengorbanan, ketulusan kasih dan pengendalian diri adalah nilai-nilai luhur yang tidak dapat ditentang atau digantikan. Tuhan tidak menghendaki bahwa kita hanya menyimpan nilai-nilai luhur  untuk diri kita sendiri, namun untuk dibagikan kepada sesama. Dan pada saat kita melakukan dan membagikannya, kita melaksanakan panggilan kita sebagai garam dan terang dunia. Sebab dunia di sekitar kita memang terkadang memiliki patokan nilai yang berbeda dengan nilai-nilai luhur ajaran iman kita.

Mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, sejauh mana kita telah hidup sebagai garam dan terang dunia? Sudahkah kita “cukup asin” untuk menggarami, dan “cukup terang” untuk menerangi sekitar kita? Cukup konsisten kah kita dalam melaksanakan ajaran dan perintah Tuhan? Dan berjuang untuk bertumbuh dalam kekudusan? Mungkin baik kita mengingat apa yang dikatakan oleh St Paus Yohanes Paulus II ini:

“Seperti garam memberikan rasa kepada makanan dan terang menerangi kegelapan, demikianlah juga kekudusan memberikan arti kepada hidup dan membuatnya menjadi cermin bagi kemuliaan Tuhan. Berapa banyak orang kudus [Santo dan Santa], terutama mereka yang masih muda, yang dapat kita andalkan dalam sejarah Gereja! Dalam kasih mereka kepada Allah, kebajikan heroik mereka menyinari dunia, dan mereka menjadi teladan kehidupan, yang oleh Gereja dianggap sebagai contoh untuk ditiru oleh semua orang…. Melalui doa syafaat para saksi iman ini, semoga Tuhan menjadikan kalian semua… para orang kudus di milenium ketiga ini!” (Paus Yohanes Paulus II, World Youth Day, 2002).

Dari sejumlah tokoh dunia, kita tak akan mungkin melupakan satu nama: Bunda Teresa dari Kalkuta. Bunda Teresa dikenal dunia sebagai pahlawan kemanusiaan, seorang yang rela membaktikan diri seutuhnya kepada orang-orang yang termiskin dari mereka yang miskin. Ia bersama para biarawati dalam komunitasnya, merawat orang-orang miskin yang terbuang di jalan, yang tubuhnya bagaikan tulang belulang berbungkus kulit yang tak mampu lagi berjalan.

Dalam sebuah wawancara, seorang wartawan mengatakan kurang lebih demikian kepada Bunda Teresa, “Betapa luar biasanya karya Anda. Tapi sejujurnya, sekalipun saya diberi uang 1 juta dollar, saya tak akan mau melakukan apa yang Anda lakukan.” Namun Bunda Teresa menjawab, “Sayapun tidak akan melakukan ini untuk uang 1 juta dollar….” Lalu lanjut Bunda Teresa, “Sebab saya tidak melakukan semua ini untuk uang, namun untuk Tuhan; karena saya melihat Tuhan saya di dalam wajah-wajah mereka yang miskin dan terbuang ini…. Dan ini mendorong saya untuk berbuat sesuatu…”

Sungguh, teladan hidup Bunda Teresa menunjukkan bahwa ia telah melaksanakan kehendak Tuhan untuk menjadi garam yang asin dan terang yang bercahaya dunia. Tidak mudah memang, namun inilah panggilan kita juga sebagai murid-murid Kristus. Kita dipanggil untuk meneruskan Terang Kristus dan ‘rasa’ Kristus kepada orang-orang di sekitar kita. Tidaklah cukup bagi kita untuk berdoa dan berpuasa, jika hal itu tidak mengubah kita untuk menjadi orang yang lebih peka untuk menolong sesama yang membutuhkan bantuan. Bukankah demikian yang diajarkan oleh Nabi Yesaya?

Dengan harapan semoga semakin banyak bahkan semua orang bersukacita dan berbahgia memuliakan Allah. Maka marilah kita yang adalah garam sungguh-sungguh dapat memperlihatkan  diri lewat tindakan perbuatan kita sebagai garam yang asin, yang dapat mengawetkan dan membuat hidup enaksemua orang seturut kehendak Tuhan. Demikian juga kita yang adalah terang semestinya menjadi terang hidup yang bisa menerangi diri dan hidup sesamamelalui tindakan perbuatan kita sehingga semua orang sungguh dapat menikmati terang ilahi yang menuntun hidup pada keselamatan abadi.***

 

DOA:

Ya Tuhan Allah, betapa kami rindu agar semua orang memuliakan Engkau. Bantulah kami, supaya dapat menjadi garam yang tidak menjadi tawar dan terang yang tidak menjadi redup, bagi dunia di sekitar kami. Agar semakin banyak orang dapat mengenal Engkau, Sang Terang, yang kami bawa dalam hidup kami. Amin.

Semoga Allah yang mahakuasa memberkati saudara sekalian, Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.

LEAVE A COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *