RENUNGAN MINGGU BIASA XXIV
DIA SELALU MEMBERI RUANG
- Minggu, 11 September 2022
- Injil Luk 15:1-10
- Oleh Romo Thomas Suratno SCJ
Allah rela melakukan apa saja. Dia memberi kesempatan agar orang-orang, yang sering kali dipandang rendah oleh sesamanya, mau berbalik kepada-Nya.
Kita tahu bahwa warta hari ini sebenarnya ada 3 perumpamaan, yaitu domba yang hilang, dirham yang hilang, dan anak yang hilang. Namun, yang kita dengarkan tadi versi singkat atau hanya 2 perumpamaan saja.
Satu hal yang menarik penginjil Lukas menggambarkan bahwa orang-orang berdosa, yang dipandang rendah oleh orang lain dan dianggap “tidak layak untuk masuk surga,” justru dikatakan “biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia.” Ini menandakan bahwa ada sesuatu yang menarik di dalam diri Tuhan Yesus, baik ajaran-Nya maupun pribadi-Nya, sehingga orang-orang seperti mereka pun datang kepada-Nya.
Tidak hanya itu, Tuhan Yesus bahkan makan bersama-sama dengan mereka. Saudara, pada masa itu, “makan bersama” bukan sekadar makan, tetapi tanda penerimaan dan solidaritas. Jadi, dengan makan bersama para pemungut cukai dan orang-orang berdosa, Tuhan Yesus dianggap menyamakan diri dengan mereka dan menyetujui perbuatan mereka.
Melihat hal itu, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bersungut-sungut. Mungkin mereka protes, “Bagaimana Yesus ini, mereka itu mencuri, merampok, dan berzina! Harusnya mereka ditegur, kok malah makan bersama!” Nah, ini mirip kalau gereja tiba-tiba kedatangan anak muda berambut gondrong, tatoan, tindikan. Mungkin sebagian di antara kita akan merasa risih, melihat dengan sinis, menjauh, karena kita berpikir bahwa gereja tempatnya orang baik-baik, bukan orang seperti itu. Apa benar demikian?
Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu mempunyai cara pandang sendiri tentang bagaimana Allah harus bertindak kepada orang-orang berdosa. Menurut mereka, orang-orang yang baik, rajin ibadah, banyak amal, merekalah yanglayak masuk surga. Sementara yang jahat, pembunuh, pezina, suka ngomong kasar, harusnya masuk neraka.
Kita bisa melihat logika ini ada di dalam ajaran berbagai agama. Padahal orang-orang Farisi serta ahli-ahli Taurat itu pasti tahu bahwa Allah pernah berfirman: “sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yes. 55:8-9). Perbedaan Allah dengan manusia itu begitu jauh.
https://www.youtube.com/watch?v=I1A1ScKMvcQ
Untuk membungkam pikiran orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu, dalam warta Injil tadi, Tuhan Yesus memulainya dengan berkata jelas. “Siapakah di antara kamu,” begitu kata Tuhan Yesus, “yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya?”(Luk. 15:4).
Dengan perumpamaan ini, orang-orang yang mendengarkan Tuhan Yesus pada saat itu, termasuk juga orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat tentunya, dalam hati pasti setuju bahwa tidak ada gembala sejati yang tidak akan mencari dombanya yang hilang. Gembala sejati pasti akan melakukan apa saja untuk menemukan dombanya itu.
Nah, jika gembala saja begitu, apalagi Allah. Allah tidak meninggalkan atau langsung membuang, Allah justru rela melakukan apa saja dan memberikan kesempatan supaya orang-orang yang sering kali dipandang rendah oleh sesamanya supaya mau berbalik kepada-Nya. Allah mencari orang-orang berdosa untuk diselamatkan. Inilah pesan inti Injil Lukasyaitu “sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang,” (Luk 19:10).
Siapakah “yang hilang itu”? Apakah kita termasuk di dalamnya? Mungkin ada di antara kita yang berpikir, “sejak kecil saya sudah ke gereja, saya juga tidak pernah melakukan dosa berat….” Perhatikan, domba yang hilang mungkin awalnya merasa baik-baik saja. Tetapi semakin lama semakin jauh dengan kawanan domba lainnya dan pada titik tertentu, domba itu baru menyadari bahwa dirinya sudah tersesat. Begitu juga dengan manusia. Banyak orang yang merasa diri mereka baik-baik saja karena karirnya lancar, keluarganya harmonis, apa yang salah? Lalu, karena merasa telah menjadi orang baik, maka orang seperti itu semakin merasa layak untuk masuk surga. Apakah memang benar demikian?
Pemazmur mengatakan: “TUHAN memandang ke bawah dari sorga kepada anak-anak manusia untuk melihat, apakah ada yang berakal budi dan yang mencari Allah. Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak,” (Mzm. 14:2-3). Ternyata, menurut Tuhan yang mengetahui segala isi hati dan tingkah-laku manusia, menyatakan tidak seorang manusia pun itu baik! Entah itu ahli Taurat, orang-orang Farisi, termasuk juga Anda dan saya, semuanya belum bahkan tidak bisa mencapai standar kebaikan Tuhan.
Jadi, kita itu sebenarnya sama berdosanya dengan orang-orang yang kita benci, sama berdosanya dengan orang-orang yang ada di dalam penjara. Kalau kita merasa sudah pasti masuk surga hanya karena rajin ke gereja dan ikut pelayanan, misalnya, tetapi itu hanya membuat diri kita semakin pede, percaya diri, semakin merasa layak untuk diterima Tuhan, di situlah bukti bahwa kita juga hilang karena salib Kristus kita rendahkan nilainya, bahkan tidak kita perlukan.
Di sini orang yang merasa dirinya paling baik justru tersesat paling jauh. Kita ingat, penginjil Lukas mencatat dalam Injilnya di mana seorang Farisi yang berdoa, “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezina dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku” (Luk. 18:11-12). Orang Farisi itu adalah orang yang paling celaka, karena merasa paling tahu Kitab Suci namun merasa paling tidak berdosa.
Demikian juga kita yang mengaku Kristen Katolik, pengikut Kristus tetapi kenyataannya masih saja menikmati dosa, mengaku sudah bertobat dan selalu menerima Yesus dalam Ekaristi, tetapi tidak ada perubahan hidup, kalau hari Minggu kelihatan sangat rohani, tetapi hari Senin-Sabtu, bagaimana….biasa-biasa saja? Kalau begitu, apakah benar Roh Kudus sudah sungguh meraja memimpin dan senantiasa kita persilahkan berkarya dalam hati kita?
Tepatlah perkataan Tuhan melalui nabi Yeremia, “Sungguh, bodohlah umat-Ku itu, mereka tidak mengenal Aku! Mereka adalah anak-anak tolol, dan tidak mempunyai pengertian! Mereka pintar untuk berbuat jahat, tetapi untuk berbuat baik mereka tidak tahu” (Yer. 4:22).
Sebelum hatinya dijamah oleh Roh Kudus sehingga kita bisa menerima Kristus sebagai Juruselamat, kita semua pada dasarnya seperti domba yang tersesat. Ingat, domba merupakan makhluk yang lemah, tidak punya taring, tidak bisa lari kencang. Begitu tersesat, dia tidak ada harapan lagi. Dia tidak bisa pulang sendiri kalau gembala tidak mencarinya.
Demikian juga manusia yang berdosa tidak bisa menyelamatkan diri sendiri. Berbuat baik seberapapun banyaknya, persembahan seberapapun banyaknya, itu semua tidak bisa menghapus dosa kita. Nabi Yesaya berkata, “kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian” (Yes. 53:6).
Itulah Allah, yang kasih-Nya digambarkan seperti kasih seorang gembala yang mencari dombanya yang hilang. Kalau kita mengerti hal ini, maka kita tidak akan merasa ke gereja itu pengorbanan karena harus menutup toko, misalnya, atau mempersembahkan uang berarti rugi, atau merayakan Ekaristi itu biasa-biasa saja. Tidak. Itu semuanya adalah anugerah, dan hanya bisa kita lakukan karena Tuhan Yesus telah menebus kita sehingga kita dapat tumbuh berkembang menuju pada kesesuaian hidup yang dikehendaki Allah.
Apakah kasih Tuhan ini betul-betul sudah menjadi arah kehidupan dan karya kita? Kalau kita sudah benar-benar mengerti bahwa kita adalah domba yang hilang namun sudah ditemukan Tuhan, sadarlah bahwa waktu kita melawan, Tuhan justru menggendong kita, membawa pulang sampai pada akhirnya kita bisa meraskan dan menikmati kembali persekutuan dengan-Nya, maka hidup kita akan berubah.
Dengan perumpamaan-perumpamaan ini, sesungguhnya Tuhan Yesus menjelaskan bahwa Allah itu aktif selalu mencari yang hilang. Tetapi bukan hanya itu saja, ternyata…. Ada sukacita besar di Surga untuk setiap orang yang bertobat.
Kalau kita memperhatikan akhir dari ketiga perumpamaan dalam Injil Lukas ini, ada satu kesamaan yaitu adanya sukacita setelah “yang hilang” itu ditemukan. Ada sukacita di surga pada waktu ada seorang manusia yang bertobat, “lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan” (Luk. 15:7).
Kalau kita renungkan firman ini, maka kiranya kita bisa menangkap maksud Tuhan Yesus, yaitu: “apakah sesungguhnya ada orang benar, sehingga tidak memerlukan pertobatan?” Tidak, karena tadi kita sudah mendengar pemazmur bicara, yang mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang benar! Di dalam Yak 2:10 dinyatakan, “sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya.” Dengan ukuran seperti ini, kita tidak bisa mengatakan “aku lebih baik dari orang itu,” karena kelihatan besar atau kecil, ketahuan atau tidak, yang namanya dosa tetaplah dosa, yang membuat kita sebenarnya layak masuk dalam neraka!
Jadi, di sini Tuhan Yesus membalik pikiran orang-orang Farisi. Allah lebih senang melihat sebuah pertobatan dibandingkan dengan orang-orang yang merasa benar dan merasa tidak memerlukan pertobatan. Perkataan ini merupakan “kejutan” yang membungkam pikiran orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat pada waktu itu, yang selalu berpura-pura hidup beragama dalam kemunafikan, dan mungkin sajakita jugayang merasa paling benar dan merasa lebih baik dibanding orang lain.
Kalau tadi saya sudah menceritakan ada orang yang ekstrim merasa baik, maka harus disadari bahwa ada juga orang yang ekstrim merasa berdosa. Mereka khawatir jangan-jangan Tuhan tidak mau mengampuni dia. “Mungkin kalau Si A Tuhan mau ampuni, tetapi bagaimana dengan saya?” “Saya sudah berzina,” “saya sudah durhaka kepada orang tua, sampai mereka meninggal saya belum sempat meminta maaf,” “saya tidak bisa lepas dari godaan pornografi di medsos,” “orang-orang di sekitar saya, termasuk teman-teman di gereja, semuanya meninggalkan saya. Apakah Tuhan mau mengampuni saya?”
Ingatlah bahwa “darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa” (1Yoh. 1:7b). Justru kalau kita merasa Allah tidak bisa mengampuni kita karena dosa kita terlalu banyak, atau kita merasa Allah tidak seharusnya mengampuni orang-orang yang telah menyakiti kita, para pembunuh, pezina, koruptor, walaupun mereka bertobat, maka bukankah kita sudah bersikap seperti orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu?
Sadarlah, bahwa tidak ada orang yang begitu jahatnya sehingga Roh Kudus tidak mampu menjamah hatinya. Bahkan kalau mau, Tuhan bisa mempertobatkan siapa saja yang saat ini membenci Kekristenan. Ingatlah bahwa Allah bersusah-payah memanggil orang-orang berdosa untuk bertobat dan justru di situlah sukacita-Nya. Kita percaya bahwa sampai sekarang Allah masih melakukannya.
Keinginan Tuhan untuk merangkul orang-orang berdosa hendaknya juga menjadi keinginan kita. Dan kalau Allah, Pribadi yang disakiti oleh orang-orang berdosa saja bersukacita, masak sih kita, yang sama-sama penuh dosa, malah mencela pertobatan orang lain? Apakah pantas kita menghakimi orang yang masuk gereja karena dulunya pezina, dulunya preman, dulunya pernah menipu kita? Jika kita mau surga bersukacita, maka terimalah mereka, orang-orang yang dianggap rendah oleh masyarakat dan justru harus menjadi prioritas kita. Susah? Iya. Perlu menyangkal diri? Pasti. Sia-sia? Tidak. Ingat firman Tuhan yang menyatakan, ada sukacita besar di surga.
Oleh karena itu, kita harus setia menghayati dan mewartakan Injil. Namun jangan mudah putus asa kalau orang yang kita wartai Injil atau orang-orang yang kita sayangi sampai detik ini belum mau menerima Tuhan. Tugas kita sebagai manusia hanyalah mewartakan Injil sambil terus berdoa dengan tidak jemu-jemu karena hanya Roh Kudus yang bisa menjamah hati orang-orang yang hilang itu.
Kita sudah belajar bahwa Allah mengerahkan seluruh upaya-Nya untuk mencari orang-orang yang hilang dan sangat bersukacita ketika mereka ditemukan. Biarlah ini menjadi kekuatan kita dalam menjalani hidup dan melakukan pelayanan kepada Tuhan di semua bidang kehidupan. Sadarlah bahwa dulu kita semua adalah domba yang sesat, sampai Kristus datang menyelamatkan kita. Kiranya kerinduan Tuhan untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang ini juga menjadi kerinduan kita bersama sehingga kita menjadi orang Kristen dan gereja yang giat dalam melakukan pewartaan. Percayalah Tuhan akan memberikan kekuatan bagi kita untuk hidup menjadi saksi bagi-Nya, karena Dia pernah berjanji, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”(Mat 28:20b).
DOA:
Ya Tuhan Allah, Engkau Mahabaik, Engkau selalu mencari kami yang tersesat dan merindukan kepulangan kami ke rumah-Mu. Maka karuniakanlah Roh Kudus-Mu senantiasa dalam diri kami, sehingga kami dapat dan mau bertobat, serta akhirnya mengalami sukacita bersama-Mu. Amin.
Semoga Allah yang Mahakuasa memberkati saudara sekalian, dalam nama Bapa dan Putra dan Roh kudus. Amin.
LEAVE A COMMENT