RENUNGAN MINGGU BIASA XVIII

RENUNGAN MINGGU BIASA XVIII

ANTARA SUKSES, KAYA, DAN BODOH

 

  • Minggu, 31 Juli 2022
  • Injil Luk 12:13-21
  • Oleh Rm Thomas Suratno SCJ

Orang akan berkata bahwa tidak ada yang salah dengan kekayaan. Tentu saja! Namun, harus disadari bahwa kekayaan memiliki cara untuk membuat kita mencintainya sepenuh hati. Dan, di sanalah masalahnya dimulai.

Perumpamaan dalam warta Injil hari ini, Yesus memberikan gambaran tentang seorang petani yang sangat sukses. Dunia akan menilai dia sebagai orang yang sangat berhasil, tetapi yang menjadi persoalan adalah keberhasilan secara duniawi tidaklah sama dengan keberhasilan rohani. Lalu, apa arti sukses itu sesungguhnya?

Bisnis pertanian, menurut orang Yahudi, dapat dikatakan sangat bergantung pada rahmat Allah. Jadi, bukankah di dalam penilaian kita orang ini sedang menerima berkat Allah berupa panen yang melimpah? Orang diberkati Allah. Dan mungkin ia sendiri akan berpikir seperti itu, ia mengira bahwa Allah berada di pihaknya. Segala sesuatunya berjalan dengan baik. Akhirnya ia mendapatkan sangat banyak hasil panen. Sedemikian banyaknya hasil panen yang ia dapatkan sehingga lumbungnya yang sekarang ini tidak dapat lagi menampung semua hasil panen itu. Sekarang, ia justru harus memecahkan masalah kelebihan hasil panen ini.

Seperti apa yang kita dengar tadi ia berkata, “Apa yang harus kulakukan? Tidak ada cukup tempat untuk menampung hasil panenku? Baiklah, aku akan melakukan hal ini.” Kita lihat, ia adalah orang yang cepat memikirkan jalan keluar. Ia cepat tanggap dan segera berkata, “Aku akan melakukan ini.” Ia tahu apa yang harus diperbuat. Ia tidak sampai kehilangan akal. Ia bertanya dan ia sendiri yang segera memutuskan jawabannya, “Aku akan merombak lumbungku dan menggantikannya dengan yang besar untuk menyimpan semua hasil panen dan barang-barangku.”

Lalu mengapa Yesus menyebutnya bodoh? Apa masalahnya? Persoalan moral apa yang bisa kita amati dari sini?

Kita tidak dapat menuduhnya sebagai cacat moral karena tidak disebutkan bahwa ia adalah orang yang berbuat dosa, ia tidak dikatakan sudah melakukan perbuatan jahat seperti perampokan atau pun penipuan. Ia adalah seorang pekerja keras, yang tidak suka cari masalah, yang punya banyak rencana, ide dan sangat berhasil. Lalu apa kesalahannya? Apa persoalannya? Keadaan orang ini tampaknya sangat ideal.

Tetapi…, sukses juga bisa menjadi kutuk bagi seseorang. Ada beberapa orang yang mendapatkan sukses yang sangat besar dan akibatnya mereka malah meninggalkan Allah. Dan memang sering orang yang memperoleh sukses besar justru menghadapi masalah rohani yang paling berat.

Sukses kiranya dapat menjadi hal yang paling buruk dalam hidup. Kiranya tidak ada hubungan yang baku antara sukses dengan berkat Allah. Orang yang dikisahkan di dalam perumpamaan ini adalah orang yang selalu mendapatkan sukses. Ia tidak pernah mengalami kegagalan. Namun, ia menjadi orang yang gagal total, secara rohani.

Lalu yang mana yang disebut sukses dan yang mana yang disebut sebagai berkat dari Allah? Ini adalah perkara yang perlu dipahami, dan kegagalan dalam memahami hal ini akan berakibat timbulnya berbagai macam masalah.

Jika demikian halnya, lalu apa yang menjadi masalah dengan petani kaya ini? Tidakkah kita akan setuju bahwa apa yang dia lakukan adalah hal yang sangat masuk akal? Jika kita memperoleh banyak hasil panen dan tidak ada lagi tempat untuk menyimpannya, tindakan apa yang masuk akal selain membangun lumbung yang lebih besar? Itu adalah tindakan yang mungkin akan kita lakukan di dalam keadaan yang sama. Jadi, ketika kita mengamati orang ini, kelihatannya kita tidak dapat melihat kesalahannya.

Kita memandang orang ini sangat bijak. Mengapa petani itu disebut bodoh?

Persoalan orang ini tidak terletak pada kepribadiannya. Yesus tidak pernah menyatakan bahwa ia adalah orang yang jahat. Yesus juga tidak menyatakan bahwa ia tidak pandai. Kata ‘bodoh’ di dalam Kitab Suci tidak mengandung arti ‘tidak pandai’. Kata ini perlu dipahami secara rohani, bukannya secara intelektual. Jadi, apa pokok permasalahannya? Kebodohan rohani! Apa itu kebodohan rohani?

Kata Yunani bagi ‘kebodohan’ secara bebas dapat diterjemahkan dengan ‘tidak punya pikiran’, atau tidak berakal. Atau dapat kita katakan, tidak punya pemahaman rohani karena kata ‘pikiran’ di sini diartikan secara rohani.

Lalu, mengapa ia disebut tidak memiliki pemahaman rohani? Kesalahan apa yang ia lakukan?

Dalam 2 Korintus 12:6a dikatakan, “Sebab sekiranya aku hendak bermegah juga, aku bukan orang bodoh lagi, karena aku mengatakan kebenaran.” Di dalam ayat ini, Paulus berkata, “Aku tidak mau bermegah, namun jika aku akan bermegah, aku tidak mau memegahkan hal yang bodoh.”

Kata ‘bodoh’ di sini mengandung makna tentang orang yang kehilangan hubungan dengan realitas, orang yang tidak tahu persoalan. Maksud perkataan Paulus adalah, “Apa yang akan aku megahkan adalah kebenaran. Aku akan mengatakan kebenaran. Aku tidak akan berbicara lepas dari kebenaran. Aku memiliki alasan untuk bermegah sekalipun aku tidak ingin bermegah.”

Sayangnya, walaupun orang yang sukses di dalam perumpamaan tadi sangat cemerlang secara manusiawi, ia tidak memiliki kebijaksanaan rohani. Akal atau pikirannya tidak menjangkau sampai ke perkara rohani. Itu sebabnya, ia disebut bodoh. Ia tidak dapat memahami keadaan yang dihadapinya secara rohani. Ia hanya memegang satu aspek saja dalam hidup ini, aspek jasmani-duniawi. Namun, ingatlah bahwa pokok keberadaan manusia secara utuh, yaitu mencakup sampai ke aspek rohani, dan ini tidak dapat dilihatnya.

Saya tidak tahu apakah kita (saya dan Anda) sudah dapat memahami kenyataan rohani kita dengan baik. Jika belum, maka kiranya kita akan gagal menangkap pesan dari perumpamaan ini. Kita akan masuk ke dalam kategori yang sama dengan orang kaya yang bodoh ini; sangat sukses di dunia, akan tetapi berantakan dan tidak mampu memahami persoalan rohani.

Kemudian, menjadi bodoh berarti bahwa kita gagal memahami kehendak Allah. “Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan,” (Ef 5:17). Hal ini berkaitan dengan yang tadi, yaitu bahwa kebodohan berarti kurangnya pemahaman atas kenyataan-kenyataan rohani. Pemahaman kehendak Allah atas diri kita sungguh penting.

Apakah kita memahami apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi diri kita? Apakah kita benar-benar mengetahui hal itu? Maka sebelum kita memuji diri dan merasa lebih pintar dari orang kaya ini, mari kita tanyakan dua pokok hal:

  • Apakah kita benar-benar mengerti akan hal hidup rohani? Sudahkah kita menyadari bahwa segala yang ada di dunia ini akan segera berlalu?
  • Apakah arah tujuan hidup ini sangat jelas bagi kita? Untuk apa kita menjalani kehidupan ini? Apa tujuan hidup kita? Apa sasaran yang sedang kita kejar? Sangatlah penting untuk dapat memahami hal ini dengan pasti.

Jika bagi kita hanya hal-hal jasmani yang dianggap nyata, sama seperti orang kaya tadi, sudah tentu keputusan kita akan didasari oleh pandangan kita atas perkara jasmani, dan kurangnya pandangan kita akan perkara rohani. Namun jika kita sudah memahami bahwa segala yang ada di dunia ini hanya sementara, dan sedang berlalu, maka segala yang sedang kita kejar sekarang ini mendadak menjadi tidak berarti, kita akan beralih pada hal-hal yang kekal karena kita menyadari bahwa hanya hal-hal itulah yang akan bertahan selamanya.

Mengertikah kita sebagai orang beriman apa kehendak Allah bagi diri Anda? Jika tidak, maka seperti orang kaya yang bodoh ini, kita akan berakhir dalam kebodohan juga sekalipun mungkin kita orang yang cerdas dan terhormat. Kita mengalami kegagalan dalam memahami apa kehendak Allah. Ketahuilah bahwa ini adalah perkara yang sangat mendasar bagi kita untuk dipahami sampai ke pusat permasalahannya. Orang kaya tadi tidak memahami apa kehendak Allah dalam hal pemilikan kekayaan.

Orang akan berkata bahwa tidak ada yang salah dengan kekayaan. Tentu saja, tidak akan ada orang yang berkata bahwa ada sesuatu yang salah dengan kekayaan. Namun harus disadari bahwa kekayaan memiliki cara untuk membuat kita mencintainya sepenuh hati, dan di sanalah masalahnya dimulai. Peringatan untuk waspada terhadap kekayaan ada dalam 1 Timotius 6:9,17.

ay. 9: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan”

… 17 berkata, “Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati”.

Kemudian marilah kita pahami firman ini: “…Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?” (Yak 2:5).

Apakah kita ingin mengetahui apa itu kehendak Allah? Apakah kita ingin memiliki hikmat?

Maka renungkanlah ini: Allah telah memilih orang yang dianggap miskin oleh dunia untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris kerajaan.  Mari kita jujur pada diri sendiri. Tidakkah kita tidak lebih baik daripada orang kaya yang bodoh tadi karena setiap hari yang kita pikirkan adalah, “Apa yang harus kulakukan hari ini? Makan apa hari ini? kita lihat, isi pikiran kita adalah, “Apa yang akan kulakukan dengan waktuku? Siapa yang akan kukunjungi? Apa yang akan kunikmati?” isi hati ini dipenuhi dengan kata ‘aku’ dan ‘milikku’. Kitab Suci mengungkapkan isi hati kita, bukankah demikian? Ia mengungkapkan jati diri kita, seperti apa kita sebenarnya, pada saat kita merasa patut bangga akan diri sendiri.

Perhatikan lagi hal lainnya. Ia selalu saja berbicara pada diri sendiri, “Apa yang harus kukatakan? Apa yang harus kulakukan?” Ia bertanya dan ia sendiri yang menjawab. Ia punya banyak waktu untuk berdialog dengan diri sendiri. Anda tahu mengapa? Karena ia menyukai dirinya lebih dari segalanya. Ia sangat mencintai dirinya sendiri. Anda lebih suka untuk berbicara dengan orang yang Anda kasihi, dan jika orang itu adalah Anda sendiri, maka Anda akan lebih suka berdialog dengan diri sendiri sepanjang hari!

Dan orang ini berkata kepada dirinya sendiri, di Lukas 12:19, sampai pada tingkat seperti ini, “aku akan berkata kepada jiwaku” (ia sudah memutuskan apa yang akan dikatakannya kepada jiwanya. Ia tidak hanya menikmati pembicaraan dengan dirinya di saat itu, akan tetapi juga sudah memutuskan isi pembicaraan di waktu akan datang.) ‘Jiwaku, persediaan dan kekayaan yang ada akan cukup untuk waktu lama; bergembiralah, makan, minum dan menikmatilah.’

Bagaimana dengan diri kita? Kita juga selalu berbicara pada diri sendiri, bukan? Pernahkah kita belajar untuk membalikkan semua arah pikiran dan menujukannya kepada Allah? Apakah kita benar-benar mengasihi Allah sedemikian rupa sehingga kita ingin berbicara padaNya, “Tuhan, apa yang hendak Engkau perintahkan padaku hari ini?”

Jadi, di sini kita harus belajar untuk mengubah pusat perhatian dalam hidup kita dari diri sendiri menjadi Allah. Sadari bahwa kita masih banyak menyimpan ‘kebodohan’ di dalam diri kita, bukankah begitu? Kita mendapati bahwa, ternyata, perumpamaan ini menyingkapkan keadaan kita. “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.”

Jika Anda ingin menjadi kaya, cara yang paling benar untuk itu adalah dengan menjadi kaya di hadapan Allah. Bagaimana caranya menjadi kaya di hadapan Allah? Seperti yang Yesus katakan dalam Khotbah di Bukit,

“Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya,” (Mat.6:19-21).

Harta kekayaan tersebut akan kekal selamanya. Semoga kiranya hari ini Allah memberi kita hikmat yang kekal yang akan terus membawa kita sampai pada kebahagiaan abadi.***

 

DOA:

Ya Tuhan Allah, semoga Engkau tetap membimbing hati dan pikiran kami sehingga kami sanggup untuk mendahulukan apa yang menjadi kehendak-Mu yang harus kami lakukan saat ini sehingga kami menjadi orang yang bijak, yang benar, yang selalu hidup dalam kebenaran-Mu. Amin.

Semoga Allah yang Mahakuasa memberkati saudara sekalian, Bapa dan Putra dan Roh Kudus. Amin.

LEAVE A COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *