RENUNGAN MINGGU BIASA XV

RENUNGAN MINGGU BIASA XV

DI ATAS SEGALANYA

  • Minggu, 10 Juli 2022
  • Injil Luk 10:25-37
  • Oleh Romo Thomas Suratno SCJ

Hukum kasih berada di atas segalanya, dan di atas segala hukum ritual. Sebab, justru di dalam kasih kepada sesamalah, seseorang dapat menyatakan kasihnya kepada Tuhan.

 

Kita tahu bahwa Tuhan Yesus telah memberikan perintah utama kepada kita, yaitu perintah kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama (Luk 10:27), maka kita mengerti bahwa prioritas utama bagi kita adalah mengasihi Allah dan baru kemudian kita mengasihi sesama demi kasih kita kepada Allah.

Dari warta Injil yang kita dengar tadi, khususnya dalam awal pewartaan-Nya: Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita, bahwa jalan untuk mencapai keselamatan adalah dengan menaati hukum Tuhan. Nah, kesepuluh perintah Allah yang diberikan kepada Musa yang terdapat dalam Kel 20:1-17 menyampaikan hukum kodrat yang sudah Tuhan tanamkan di dalam hati nurani manusia. Misalnya, seseorang dalam hatinya pasti sudah tahu bahwa membunuh atau berbohong itu dosa. Maka hukum kodrat ini yang dinyatakan dalam kesepuluh perintah Allah tidak mungkin menjadi “kuno”/tidak berlaku atau perlu disesuaikan dengan kehendak manusia/kehendak zaman.

Dalam kesepuluh perintah Allah itu yang tertulis di atas dua loh batu, kita mengetahui terdapat dua macam perintah. Ketiga perintah pertama adalah perintah untuk mengasihi Tuhan, sedangkan perintah keempat sampai kesepuluh adalah  perintah untuk mengasihi sesama. Maka kedua jenis perintah ini yang ditekankan kembali oleh Yesus sebagai hukum yang terutama yang di mana tergantung seluruh hukum yang diajarkan oleh para nabi dan itu yang disebut sebagai Hukum atau Perintah Kasih.

Maka, bagi kita umat beriman, kasih pertama-tama adalah mengasihi Tuhan dan di tempat kedua adalah mengasihi sesama, sebagai bukti kasih kita kepada Tuhan, karena Tuhanlah yang meminta agar kita berbuat demikian (1 Yoh 4:21). St. Agustinus mengatakan, kasih kepada sesama merupakan konsekuensi kasih kepada Tuhan karena manusia adalah gambaran Allah, maka jika kita mengasihi sesama, kita mengasihi Tuhan.

Jika kita mengasihi Tuhan, maka kita juga akan mengasihi sesama, karena memandang mereka sebagai saudara/i di dalam Tuhan yang sama-sama ditebus oleh Kristus. Namun tentu, kasih kepada sesama ini tidak berdiri sendiri/terlepas dari kasih kepada Tuhan, sebab jika demikian, malah sebenarnya kita melanggar perintah yang pertama, yaitu mengasihi Tuhan di atas segala sesuatu. Kita harus menyadari bahwa perbuatan kasih yang didasari oleh iman kita kepada-Nya itulah yang akan diperhitungkan Allah pada saat penghakiman terakhir.

Kemudian, kita, manusia mengetahui bahwa kita diciptakan Allah di dunia ini dimaksudkan supaya kita mengasihi Tuhan (v27). Mungkin ada yang bertanya: mengapa kita mesti mengasihi Tuhan? Jawabnya adalah karena kita menemukan kebahagiaan kita di dalam kasih kepada Tuhan, dan tidak di dalam hal-hal lainnya. Maka kalau kita ingin mendapat penghiburan dan kekuatan di dalam hidup ini kita harus kembali kepada Tuhan, kita harus mengasihi Tuhan.

Perhatikan dan coba kita cari orang yang terlihat sebagai orang yang paling berbahagia di dunia dan bertanya kepadanya: apakah dia mengasihi Tuhan? Mengapa? Sebab jika ia tidak mengasihi Tuhan, ia sebenarnya tidak sungguh-sungguh berbahagia. Itulah sebabnya banyak di antara orang-orang yang demikian kemudian dapat melakukan hal-hal yang tragis (bunuh diri – misalnya) dalam hidup mereka.

Sedangkan sebaliknya, jika kita menemukan orang kelihatannya paling tidak bahagia di mata dunia, namun kalau ia mengasihi Tuhan, maka ternyata ia adalah orang yang paling bahagia, dalam arti yang sesungguhnya, dalam segala sesuatu. Maka sudah selayaknya kita berdoa memohon agar Tuhan membuka mata hati kita agar dapat mencari kebahagiaan di mana kita dapat sungguh menemukannya, yaitu di dalam Tuhan sendiri.

Kemudian seperti yang kita dengar tadi, setelah menjelaskan tentang kasih kepada Tuhan, sebagai yang mendasari kasih kepada sesama (V29-37)Yesus kemudian menjelaskan perumpamaan Orang Samaria yang baik hati, yang menjelaskan siapakah sebenarnya “sesama” kita dan bagaimana sesungguhnya kita harus mengasihinya, bahkan jika ia adalah musuh kita.

St. Agustinus dalam khotbahnya, seperti juga para Bapa Gereja yang lain, mengidentifikasikan orang Samaria itu sebagai Yesus dan orang yang dirampok itu sebagai Adam yang mewakili kita semua manusia yang berdosa. Karena belas kasihan-Nya, Kristus datang ke dunia, untuk menyembuhkan luka-luka manusia akibat dosa. Yesus memang sangat berbelaskasihan kepada manusia yang menderita.

Rasul Yohanes mengatakan, “Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi,” (1 Yoh 4: 9-11).

Maka di sini kita mengetahui bahwa “sesama” kita adalah siapapun juga, tanpa pembedaan dari suku apa atau agama apa, yang memerlukan bantuan kita. Dan kasih ini bukan terlihat dari bagaimana kita mengasihinya, seperti merasa kasihan, atau mempunyai perasaan simpati; tetapi kita harus berani melakukan sesuatu yang nyata, yaitu untuk melayani mereka, membantu meringankan beban mereka yang membutuhkan bantuan.

Jadi kita umat beriman harus mempunyai kasih yang semacam ini, yang peduli kepada kebutuhan orang lain, terutama jika kita sudah diberkati oleh Tuhan. Salah satu cara untuk menyatakan kasih kepada sesama adalah dengan melakukan “perbuatan-perbuatan belas kasihan”, yang semuanya ada empat belas macam: tujuh hal secara rohani; dan tujuh hal lainnya secara jasmani.

Perbuatan kasih secara rohani yang dapat kita lakukan kepada sesama kita yang membutuhkan adalah: untuk membantu mereka kepada pertobatan, untuk mengajar mereka yang tidak tahu, untuk membantu menguatkan mereka yang ragu-ragu, untuk menghibur mereka yang berduka, untuk dengan sabar menerima kesalahan/ kekurangan orang lain, untuk mengampuni kesalahan, dan untuk mendoakan mereka yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Sedangkan tujuh perbuatan kasih secara jasmani adalah: memberi makan mereka yang kelaparan, memberi minum untuk mereka yang haus, memberikan pakaian kepada mereka yang telanjang, memberikan tumpangan tempat tinggal kepada mereka yang tidak punya rumah, mengunjungi mereka yang sakit, mengunjungi mereka yang ada di dalam penjara, dan menguburkan orang yang meninggal dunia.

Di antara perbuatan kasih yang menyangkut rohani dan jasmani ini, tentu yang rohani mempunyai tempat yang lebih utama, walaupun yang jasmani juga bukannya tidak penting. Sebab perbuatan kasih yang menyangkut rohani ini berkaitan dengan membawa seseorang kepada keselamatan.

Akhirnya, dalam perumpamaan tadi yang mengatakan: “Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan.  Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.”  Yesus mengajarkan perumpamaan ini untuk memperbaiki kesalahan- kesalahan yang ada pada waktu itu, di mana orang lebih menghindari diri terhadap apa yang disebut dengan hal yang najis.

Imam, dan orang suku Lewi itu tidak yakin bahwa orang yang terluka itu hidup atau mati, maka mereka menghindarinya karena menganggap orang itu akan mati. Mereka menghindarinya agar tidak dianggap najis. Namun Yesus mengajarkan bahwa hukum kasih berada di atas segalanya, dan di atas segala hukum ritual, sebab justru di dalam kasih kepada sesamalah seseorang dapat menyatakan kasihnya kepada Tuhan.

Ya, memang kasih Tuhan dan kasih kepada sesama merupakan hakikat dari kekudusan, yang kepadanya kita dipanggil. Kekudusan itu sangat penting dalam kehidupan rohani kita, karena kekudusan adalah kehendak Tuhan untuk semua orang. Kekudusan menjadi tanda yang nyata bagi kita sebagai pengikut Kristus, dan kekudusan adalah sesuatu yang diperhitungkan pada saat akhir hidup kita.

Marilah kita memeriksa diri sendiri, sudahkah kita hidup kudus, dan mulai mempraktikkannya dengan belajar untuk lebih rendah hati.***

 

DOA:

Ya Tuhan Allah, kami sadar akan pentingnya mengasihi Tuhan dan sesama demi keselamatan. Namun kami mengakui bahwa sering kali kami lalai dan tidak melakukan hal itu melainkan justru lebih banyak mencintai diri sendiri, bersikap egoistis dan kurang memperhatikan sesama. Ampunilah dosa-dosa kami dan curahkanlah rahmat-Mu senantiasa dalam diri kami sehingga kami dimampukan oleh-Mu sendiri untuk melaksanakan apa yang Kaukehendaki. Amin.

Semoga Allah Yang Mahakuasa memberkati saudara sekalian Bapa (+) dan Putra dan Roh Kudus. Amin.

LEAVE A COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *