RENUNGAN MINGGU PRAPASKAH V

RENUNGAN MINGGU PRAPASKAH V

MENGASIHI, TIDAK SALING MENYUDUTKAN

 

  • Minggu,  3 April 2022
  • Injil Yoh 8:1-11
  • Oleh Romo Thomas Suratno SCJ

Mengasihi merupakan perbuatan ramah dan berwawasan cinta. Mengasihi identik dengan perbuatan, perkataan, dan sikap yang menyenangkan serta tidak saling menyudutkan.

 

Kekerasan terhadap perempuan sesungguhnya berada rentang panjang sejarah umat manusia. Tindakan ini tampak dalam beragam bentuk. Muncul dari ranah sosial, budaya, ekonomi, politik dan bahkan keseharian hidup manusia. Anggapan sosial dan hukum yang tidak wajar dalam kehidupan sehari-hari pun menjadi alasan atau penyebab timbulnya diskriminasi (pemojokan) terhadap kaum perempuan.

Kekerasan yang bersifat paradoksal ini juga tampak dalam warta Injil hari ini, Yoh 8:1-11. Di mana perempuan disudutkan dalam kehidupan demi pemuasan nafsu para lelaki yang direpresentasikan oleh “orang-orang Farisi dan orang banyak”. Upaya rekonstruksi melalui penghormatan terhadap martabat kaum perempuan menjadi suatu keharusan. Demi terwujudnya tatanan yang ‘ideal’, yakni keadilan.

Warta Injil yang kita dengar tadi, setidaknya menjadi satu gambaran sejarah yang menampilkan perendahan martabat perempuan atau praktik diskriminasi. Lalu bagaimana kita memahami dan merefleksikan tentang martabat seorang wanita. Tidakkah kita, khususnya umat Katolik di Keuskupan Agung Jakarta (khususnya), diajak untuk memperhatikan, menghormati dan mengangkat derajat manusia sampai pada tahap martabat manusiawi sebagai ciptaan Allah? Tentu tidak hanya wanita, melainkan semua golongan yang saat ini kurang dihargai martabat kemanusiaannya sebagaimana ciptaan yang secitra dengan Tuhan?

Nah, sehubungan dengan warta Injil hari ini dengan menilik latar belakang budaya Yahudi yang menganut sistem patriarkal tentu menggarisbawahi posisi perempuan kala itu. Perempuan disubordinasikan dalam urusan-urusan keagamaan dan Bait Allah atau dalam kehidupan sosial. Upaya penghakiman “terhadap perempuan yang berzinah” dan pemojokan mewarnai satu bentuk ketidakadilan yang cukup kompleks atau ada pembedaan jender yang riil dalam kultur Yahudi. Perzinahan harus dkenai hukuman “perajaman dengan batu hingga mati”.

Dalam beberapa hal, kekerasan terhadap kaum perempuan adalah masalah yang timbul dalam kehidupan sosial. Latar belakang dan budaya paternalisme yang lebih mengangkat derajat dan martabat laki-laki menimbulkan diskriminasi terhadap kaum perempuan.

Lalu bagaimana kekerasan yang tergambar dalam warta hari ini, Yoh 8:1-11?

Latar belakang kekerasan terhadap kaum perempuan berangkat dari sejarah atau tradisi Yahudi yang melegalkan hukuman mati. Adanya praktik diskriminasi tampak melalui praktik hukuman mati yang dalam konteks Yahudi akan dirajam dengan batu oleh seluruh masyarakat hingga mati.

Hukum rajam dikenakan kepada setiap subjek yang kedapatan melakukan perzinahan atau hubungan seksual antara laki-laki yang sudah atau belum bersistri dengan perempuan yang sudah bersuami. Tindakan ini dalam Tradisi Yahudi dianggap memperkosa hak milik suami terhadap istrinya. Tetapi nota bene-nya tindakan perajaman ini lebih diarahkan kepada kaum perempuan yang tentu merupakan satu bentuk ketidakadilan terhadap kaum perempuan.

Warta Yohanes 8:1-11 secara umum menggarisbawahi suatu tuduhan palsu atas wanita yang dianggap berzinah. Kiranya warta ini menegaskan sikap kita orang kristen terhadap dosa, terutama perzinahan. Secara ringkas warta ini mengandung usaha untuk mencobai Yesus oleh orang-orang Farisi yang dengan harapan bahwa Yesus akan menolak Taurat Musa tentang hukuman rajam terhadap kasus perzinahan.

Di sini Yesus menghindari jebakan, dengan mengajukan satu tuntutan: “Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa hendaklah ia yang pertama kali melemparkan batu kepada perempuan itu,” (Yoh 8:7). Yesus membangkitkan kesadaran mereka dan pada akhirnya mereka menghilang, dan meninggalkan Ia sendirian bersama wanita itu. Yesus menggambarkan pentingnya pengampunan di atas semua masalah, apalagi menyangkut kehidupan dan mengingatkan peringatan terhadap hukum yang mendiskriminasikan wanita.

Lalu, apa sikap resolutif pengendali kekerasan menuju keadilan?

Kekerasan dalam kehidupan bersosial tidak akan terjadi bila masyarakat menghayati dengan sungguh nilai-nilai kemanusiaan yang ada. Penghayatan akan nilai-nilai tersebut tentu tidak bergerak di luar dari nilai yang sudah benar mengakar dan belum terlalu disadari.

Kiranya nilai-nilai berikut dapat dihayati untuk mencegah tindak kekerasan terhadap kaum perempuan dengan menekankan nilai cinta kasih. Mengasihi adalah perbuatan ramah dan berwawasan di mana cinta memiliki efek yang tidak kasar, sopan, dan tidak kejam. Kemudian, mengasihi identik dengan perbuatan-perbuatan, kata-kata, dan sikap-sikap yang menyenangkan dan tidak saling menyudutkan.

Bahwasanya cinta memiliki konsekuensi mutual antar kaum laki-laki dan kaum perempuan, maka harus dihindari aksi-aksi yang bertentangan dengan nilai cinta. Yesus, dalam Yoh 8:11, menegaskan dengan jelas: “Aku pun tidak akan menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” Ia mengarisbawahi pentingnya pengampunan sebagai ungkapan cinta yang paling sempurna terhadap sesama.

Perempuan pada dasarnya memiliki kodrat yang unik dan memiliki martabat pribadi sebagai manusia yang setara dengan kaum laki-laki. Perlakuan yang tidak mempertimbangkan kebaikan bagi sesama yang lain merupakan tindakan yang kurang manusiawi. Kekerasan terhadap kaum perempuan dengan berbagai bentuk subordinasi adalah tindakan penindasan.

Penindasan yang didasarkan pada egoisme sepihak dari kaum laki-laki terhadap kaum perempuan adalah jahat dan kejam. Perempuan sesungguhnya juga tidak menghadirkan kekacauan dalam kehidupan bersama atau menjadi biang ketidakadilan. Penghormatan terhadap martabat atau saling menjunjung tinggi penghargaan terhadap martabat menjadi aset terpenting terciptanya keadilan.

Yesus, dalam warta Yoh 8:1-11, menggarisbawahi pentingnya bersikap adil terhadap kaum perempuan. Cinta kasih menjadi satu-satunya jalan yang perlu dipraktikkan melalui tindakan pengampunan dan tidak mendiskriminasikan mereka. Kekerasan terhadap kaum perempuan haruslah ditiadakan dalam kehidupan bermasyarakat.

Mereduksi tindakan-tindakan yang berakibat fatal bagi kaum perempuan adalah pencegahan terjadinya praktik penindasan dan ketidakadilan yang sifatnya amoral. Menindas kaum perempuan berarti melanggar hak dan martabat mereka sebagai insan yang bermartabat. Demikian nilai-nilai keadilan harus ditanamkan dalam setiap pribadi sebagai aktor penindas. Karena dengan bersikap adil dan tidak menindas perempuan merupakan salah satu wujud nyata kita memperhatikan martabat kemanusiaan makhluk ciptaan Allah yang disebut sebagai wanita itu.

Maka, marilah di masa tobat ini kita sungguh menyadari akan relasi dan perhatian kita terhadap sesama yang sampai saat ini mendapat perhatian semestinya sebagai manusia ciptaan Allah yang luhur.

Marilah kita juga mengakui bahwa perlakuan-perlakuan kita yang tidak adil dan diskriminatif terhadap sesama itu merupakan perbuatan dosa. Kita pantas menyesali, mohon ampun pada Allah dan berusaha berubah ke arah kebaikan yang membahagiakan sesama.***

 

DOA:

Ya Allah Bapa, sering kali kami tanpa disadari kurang menghargai sesama kami, terutama kaum wanita, kaum lemah dan difabel. Hal itu terjadi entah dalam perkataan maupun perbuatan kami. Maka ampunilah diri kami dan berilah kami rahmat-Mu sehingga mampu untuk menghormati mereka semua sebagai sesama ciptaan Allah yang luhur. Amin.

Semoga Allah yang Mahakuasa memberkati saudara sekalian, Bapa dan Putra dan Roh Kudus. Amin.

LEAVE A COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *