RENUNGAN MINGGU PRAPASKAH IV
KEMBALI KE RUMAH KEBERLIMPAHAN
- Minggu, 27 Maret 2022
- Injil Luk 15:1-3, 11-32
- Oleh Romo Thomas Suratno SCJ
Allah meminta semua anak-Nya untuk memandang Dia sebagai Bapa, sumber kasih. Semua anak diundang hidup bersama dan bersatu dalam rumah-Nya dengan semangat cinta yang sama.
Warta Injil hari Minggu IV atau Minggu Laetare menampilkan kisah klasik yang sangat terkenal, yakni kisah anak yang hilang,yang menggambarkan cinta dan belas kasih ilahi. Kegembiraan bapa akan anaknya yang hilang dan telah kembali, dan kegembiraan anak hilang karena telah diterima lagi.
Kalau kita perhatikan, kisah ini sebetulnya merupakan penutup dari serangkaian kisah. Pertama, kisah domba yang hilang, di mana gembala mencari domba yang tersesat miliknya. Domba itu harus dicari dan gembala sendiri harus menanggung resiko besar. Kemudian, kisah wanita yang mencari dirham yang hilang. Ia membersihkan seluruh rumah untuk menemukan kekayaannya itu.
Akhirnya, kemudian kisah yang hari ini kita dengar bersama, yakni bapa yang ditinggalkan anak bungsu hanya bisa menunggu sampai anak itu sadar kembali. Bapa itu dengan penuh kepercayaan menantikan anaknya.
Yang mungkin sedikit mengherankan dalam kisah terakhir ini ialah peranan anak sulung. Ia tidak mau menerima adiknya, bahkan menggerutu. Kalau kisah itu dilihat dari sisi pelaku-pelaku, maka nampaknya si anak sulung itu adalah isyarat tentang orang-orang farisi dan para ahli kitab. Mereka itulah si sulung dalam lingkungan bangsa terpilih.
Mereka tidak mampu memahami kasih Allah yang penuh kerahiman terhadap pendosa, sehingga hanya bisa menggerutu bila Allah menyayangi pendosa. Dengan demikian ,seluruh kisah sebentulnya tidak hanya merenungkan kasih Allah terhadap pendosa, melainkan juga pembelaan mengapa justru pendosa masih mendapatkan kasih sayang Allah.
Lalu, apa yang menjadi poin-poin pewartaan Injil hari ini?
Yang jelas, kalau kita perhatikan kisah ini, sebenarnya kaya akan unsur-unsur pemahaman dan akan misteri kasih, pengampunan, pertobatan, dan kehidupan bersama dalam rahmat. Unsur-unsur itu bisa direnungkan, misalnya, lewat peranan yang ditampilkan para pelaku.
Pertama, Bapa yang membiarkan anaknya menuntut hak warisan menunjukkan betapa baik bapa itu dan betapa ia mempercayai anaknya. Anak bungsu yang tidak mempunyai hak, ternyata diberikan hak dan kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri. Tentu dengan pengharapan bahwa anak itu akan memanfaatkan kasih bapa untuk berkembang sepenuhnya sebagai anak.
Kedua, Anak bungsu ternyata pergi menentukan nasib pilihannya sendiri. Kebebasan digunakan untuk menjauhkan diri dari ikatan kasih keluarga. Kesengsaraan yang kemudian dialami menyadarkannya akan kasih keluarga. Kesadaran itu membawanya kembali ke pangkuan keluarga. Ia mempunyai keberanian untuk kembali. Ini adalah pokok utama perumpamaan. Yang mana mau dikatakan bahwa prakarsa pertobatan itu datang dari Allah Bapa yang berbelaskasihan.
Sebelum orang berdosa sempat mengakui kesalahannya, belas kasihan Allah Bapa sudah menantikan dan menjemputnya. Pengampunan Allah Bapa sudah tersedia terlebih dahulu, sehingga juga tampak dalam Yesus yang mencari orang berdosa.
Yang amat mengagumkan ialah bahwa Allah Bapa menerima kembali orang yang bertobat bukan sebagai upahan yang ditugaskan, melainkan memulihkan statusnya sebagai anak yang tercinta, melebihi harapan orang yang bertobat. Inilah warta gembira yang penting bagi pembaca dan pendengar yang mungkin merasa dirinya sudah tak layak lagi menjadi anggota keluarga Allah Bapa.
Lalu, yang ketiga, Anak sulung yang menggerutu merupakan isyarat betapa manusia sering cemburu terhadap kasih ilahi yang dinyatakan Allah dalam hidup ini. Sikap cemburu tidak mengembangkan kehidupan bersama, melainkan membuat orang menutup diri terhadap kebaikan yang ada. Anak sulung ini menampilkan diri sebagai orang saleh tetapi ternyata memisahkan diri dari rumah Bapa.
Masalahnya, pengampunan Bapa terhadap orang berdosa kurang menjadi warta gembira bagi orang yang taat beragama. Sulit bagi mereka untuk berbagi dalam kemurahan Bapa. Akar kesulitan adalah cara menghayati kehidupan beragama: kurang dihayati sebagai hidup dalam kasih Bapa yang memberi sukacita, tetapi lebih sebagai keharusan dan kewajiban yang nanti masih harus diberi balsan tersendiri. Karena bersikap seperti orang upahan, mereka tentu cemburu apabila Bapa menunjukkan belas kasihan kepada orang berdosa, orang malang yang sudah lama tidak menikmati persekutuan kasih-Nya.
Juga manusia-manusia saleh yang membangkang ini adalah orang berdosa yang didekati Bapa. Dengan sabar Bapa mendengar keluhannya dan berusaha membuka hatinya bagi saudaranya yang lebih malang. Bapa menunjukkan belaskasihan kepada “pendosa yang saleh” ini dengan maksud agar ia pun akhirnya dapat merasakan kedekatan dengan Bapa sebagai hadiah yang menggembirakan, lalu menjadi mampu untuk mengambil bagian dalam belas kasihan dan sukacita Bapa terhadap yang berdosa. Apakah tujuan ini tercapai, tidak lagi diceritakan dalam perumpamaan ini. Cerita yang masih terbuka ini harus diselesaikan oleh kita sendiri tentunya yang mendengar kasih ini.
Maka kisah ini dapat kita renungkan seperti ini, pertama bahwa manusia itu diciptakan karena cinta Tuhan. Maka, manusia bermandikan rahmat. Namun, dalam kenyataan, manusia merasa bahwa dirinya bisa mengatur hidupnya sendiri tanpa campur tangan Tuhan atau kemurahan rahmat Allah. Bahkan manusia juga nampak dibelenggu oleh sikap yang merasa bahwa dirinya sendirilah yang berhak memiliki semua karunia rahmat atau kekayaan di rumah Bapa.
Sementara, Allah meminta semua anak-Nya untuk memandang Dia sebagai Bapa, yakni sumber kasih, dan semua anak-Nya harus hidup bersama dan bersatu dengan Bapa dan dengan semangat cinta yang sama.
Kiranya hubungan dalam keluarga bangsa manusia pun harus merupakan suatu hubungan kasih. Kasih itu memungkinkan kita untuk hidup bersama dan mengatasi berbagai kebekuan dalam hukum, seperti tatkala orang menuntut hak-haknya. Kasih pula yang memungkinkan kita menerima kemurahan hati Tuhan dalam pengampunan.
Nah, kita pun kadang bersikap seperti anak yang hilang itu, menjauh dari Allah dan hidup jauh dari jalan-jalan-Nya.
Warta Injil hari ini mengingatkan kita untuk senantiasa mau kembali kepada Bapa, yang siap menerima kita kapan pun kita datang kepada-Nya dan tetap menjadi anak-anak-Nya.
Namun, menjadi peringatan juga bagaimana kita menghayati hidup sebagai orang beragama. Jangan-jangan seperti anak sulung, menghayati hidup dalam agamanya dan merasa diri saleh namun hanya sebagai petugas dan pelaksana kewajiban agama, sehingga hatinya tertutup bagi sesamanya, terutama hatinya tertutup terhadap pertobatan orang-orang berdosa.
Maka dari itu, marilah di masa Prapaskah ini di mana sekarang sudah semakin dekat dengan Perayaan Paskah, sungguh-sungguh kita berusahsa BERTOBAT seperti anak yang hilang tadi. Bukan karena takut dan bukan karena apa, melainkan karena sadar bahwa Allah Bapa itu mahamurah dan maharahim.
Dia mencintai siapa saja dan sangat merindukan kita yang sudah meninggalkan Dia karena kita telah melakukan tindakan-perbuatan yang hanya menuruti kehendak sendiri dan tidak mempedulikan kehendak-Nya. Kita hanya memikirkan diri sendiri dan bertindak egois dan tidak memikirkan sesama. Sekali lagi, kita harus kembali kepada-Nya dan mengasihi dengan sepenuh hati karena Allah Bapa telah dan terus akan mencintai kita dan sesama.***
DOA:
Allah Yang Maharahim, aku menyesal atas segala dosaku, sebab patut aku Engkau hukum, sebab aku telah menghina Engkau yang mahamurah dan mahabaik bagiku. Aku benci atas segala dosaku dan berjanji dnegan pertolongan rahmat-Mu hendak memperbaiki hidupku dan tidak akan berbuat dosa lagi. Allah, ampunilah aku orang berdosa ini. Amin.
LEAVE A COMMENT