RENUNGAN MINGGU ADVEN II
Tobat dan Kasih Sayang Allah
- Minggu, 05 Desember 2021
- Injil Luk 3:1-6
- Oleh Romo Thomas Suratno SCJ
Allah tidak perlu dicari. Namun, Allah minta disambut. Dialah yang datang mencari manusia sebab semua manusia membutuhkan kasih sayang-Nya.
Pada zaman dulu belum ada kalender seperti kita punya, maka untuk memberitahu kapan peristiwa tertentu telah terjadi, mereka menyebut nama orang yang berkuasa pada waktu peristiwa itu telah terjadi.
Itulah yang telah dilakukan juga oleh penginjil Lukas, seperti kita dengar dalam warta injil hari ini. Lukas menulis: Dalam tahun kelima belas pemerintahan Kaisar Tiberius, ketika Pontius Pilatus menjadi gubernur Yudea, dan Herodes raja wilayah Galilea, Filipus, saudaranya, raja wilayah Iturea dan Trakhonitis, dan Lisanias raja wilayah Abilene, pada waktu Hanas dan Kayafas menjadi Imam Besar, datanglah firman Allah kepada Yohanes…”
Penginjil Lukas telah menyebut nama ketujuh orang terbesar di dunia untuk memberitahu kapan telah terjadi kedatangan Allah di dunia ini dalam Diri Yesus dari Nazareth. Dengan pemberitaan kronologis yang sangat teliti ini penginjil Lukas memberitahu bahwa keterlibatan Allah dalam sejarah manusia, melalui diri Yesus dari Nazareth, merupakan peristiwa yang konkrit, yang terjadi pada waktu dan tempat yang pasti.
Selain itu, Lukas –seorang teolog dan sastrawan yang unggul– mau menyampaikan satu pesan lagi dengan mengejar angka 7. Perlu kita ketahui bahwa dalam kitab suci angka tujuh berarti kepenuhan, totalitas. Maka Lukas mengejar angka tujuh dengan menyebut nama dua orang imam besar: Hanas dan Kayafas. Tak pernah ada dua imam besar yang menjabat serentak. Pada zaman Yesus imam besar adalah Kayafas. Lukas mempergunakan teknik sastra ini untuk menyampaikan pesan bahwa keterlibatan Allah dalam sejarah manusia, dalam diri Yesus dari Nazareth, merupakan suatu peristiwa yang mempunyai makna bukan hanya untuk bangsa Israel, tetapi juga untuk semua bangsa lain di dunia, yaitu, untuk seluruh umat manusia.
https://www.youtube.com/watch?v=UwOad5Je_iA
Ketujuh orang yang disebut itu adalah orang terbesar di bumi yang memegang kekuasaan atas dunia. Ketujuh orang besar itu seharusnya merupakan jalur protokoler yang wajar yang dilalui oleh Allah supaya kedatangan Putra-Nya sukses. Menurut logika manusia, Allah seharusnya berkomunikasi pertama-tama dengan imam-imam besar Hanas dan Kayafas, sebab mereka diyakini sebagai wakil Allah di dunia, kemudian Allah seharusnya berkomunikasi dengan Kaisar Tiberius di Roma, ‘caput mundi’ = kepala dunia.
Akan tetapi ada kejutan, sebab penginjil Lukas menulis: Pada waktu ketujuh orang terbesar di bumi berkuasa…….. datanglah firman Allah – (bukan kepada mereka melainkan) – kepada Yohanes, anak Zakaria di padang gurun…
Pada waktu semua tokoh itu berkuasa, Allah tidak menghubungi Hanas dan Kayafas, imam besar, yang diyakini wakil Allah di bumi, pun pula Allah tidak menghubungi Kaisar Tiberius di Roma atau penguasa lainnya, melainkan Allah telah menghubungi seorang pemuda yang bernama Yohanes, anak Zakarias di padang gurun…
Kemudian kalau kita renungkan soal padang gurun, kita ketahui bahwa di padang gurun itu adalah tempat yang tidak dihuni manusia. Untuk apa Yohanes di padang gurun? – Sebenarnya kan bukan itu tempatnya bagi dia. Mengapa? Sebab Yohanes, sebagai anak Zakharias, seorang imam, seharusnya berada di dalam kenisah di kota Yerusalem. Di Israel imamat itu bukan suatu panggilan – melainkan diwariskan oleh ayak kepada anaknya, sebagai keturunan Harun, kakak Musa, atau sebagai keturunun suku Levi. Lalu, pada usia 18 tahun Yohanes seharusnya berada dalam kenisah di kota Yerusalem untuk menjalani pemeriksaan, apakah ia bersih dari segala cacat yang menghalangi pelayanan sebagai imam – sesuai ketentuan Kitab Imamat dalam bab 21 dan 22 – untuk dapat melanjutkan jabatan imamat Zakharias, ayahnya.
Akan tetapi Yohanes tidak berada di Kenisah sebab ia telah dinaungi oleh Roh Kudus sejak dikandung ibunya (Luk 2,41). Yohanes adalah manusia yang melayani Roh Kudus bukan ritus-ritus. Maka ia melepaskan diri dan memutuskan hubungannya dengan dunia liturgi Kenisah. Ia memutuskan hubungannya dengan kenisah dan pergi ke padang gurun, jauh dari Yerusalem dan kenisahnya – pusat komando institusi agama Yahudi, dan tinggal di padang gurun, jauh dari kuasa agama dan jauh dari kuasa dunia.
Apakah pesan penginjil Lukas lewat sikap Yohanes, yang melepaskan diri dari dunia liturgi Kenisah? Pesannya adalah bahwa ketika Allah membutuhkan bantuan manusia untuk melaksakan rencananya, Allah memilih orang yang tidak ada kaitan dengan tempat ibadah atau dengan ritus-ritus, sebab Allah sudah punya pengalaman, misalnya dengan imam Zakharia yang dikunjungi malaikat Gabriel ketika ia sedang melaksanakan liturginya di Bait Allah. Zakharia itu tidak percaya pada sabda Allah, bahwa ia akan mendapat seorang anak dari Elisabeth. Lalu imam Zakharia menjadi bisu. Memang begitulah nasib seorang imam yang tak percaya kepada sabda Tuhan. Imam bisu sebab apa yang ia sampaikan tidak diimaninya sendiri, dan meski pun dia omong, umat tidak mengerti, sebab ia tidak percaya (Luk 1:18-23). Di kemudian hari Yesus sendiri tak pernah akan memanggil seseorang menjadi murid-Nya, ketika orang itu sedang berdoa atau yang sedang beribadah atau berliturgi! – Yesus selalu memanggil orang yang sedang sibuk melakukan pekerjaannya.
Seperti yang kita dengar dalam warta Injil tadi, Yohanes Pembaptis “memberitakan baptisan tobat untuk pengampunan dosa”. Pembaptisan Yohanes tidak mempunyai makna teologis dan liturgis pembaptisan kita. Kata ‘pembaptisan’ – adalah kata bahasa yunani yang berarti merendam, menenggelamkan ke dalam air.
Ritus penenggelaman manusia dalam air itu sudah dipakai sejak lama sebelum Yohanes Pembaptis baik di Roma mau pun di Israel. Di Roma: apabila seorang budak diberi kebebasan, ia ditenggelamkan dalam air di mana secara simbolis ia mati sebagai budak, lalu keluarlah ia dari kandungan air sebagai manusia yang merdeka. Di Israel: apabila ada orang kafir – yaitu orang yang bukan dari bangsa Israel – yang ingin menjadi penganut agama Yahudi, ia ditenggelamkan ke dalam air di mana secara simbolis matilah dia sebagai orang kafir, dan keluarlah ia sebagai manusia baru, yaitu sebagai anak Abraham.
Orang yang mau dibaptis oleh Yohanes adalah orang yang terdorong oleh niat untuk mengubah arah hidupnya. Akan tetapi, niat dan tekadnya mengubah cara hidupnya tak nampak, tak dapat dilihat orang. Maka, niat untuk mengubah arah hidupnya diperagakan dalam ritus permandian. Ia ditenggelamkan ke dalam air di mana ia mati sebagai orang yang egois, lalu ia keluar sebagai manusia baru yang peduli kepentingan dan kebahagiaan sesama.
Perlu dicatat bahwa dosanya diampuni bukan karena ritus, bukan karena ia ditenggelamkan ke dalam air melainkan karena ia mengubah cara hidupnya. Artinya, ia tidak terarah lagi pada diri sendiri, melainkan terarah pada kebutuhan dan penderitaan sesama.
Itulah apa yang membuat manusia menjadi bebas dari dosa. Di sini jelas bahwa Yohanes Pembaptis, anak imam Zakharias, tidak mengikuti ayahnya melayani kultus di Bait Allah di Yerusalem. Ia tinggalkan institusi agama Yahudi dan memilih menjadi “suara” di padang gurun, yang berseru, “Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya. Setiap lembah akan ditimbun dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan…. Apakah yang dimaksudkan dengan lembah, dengan gunung, dengan bukit dst…dijelaskan oleh nabi Yesaya sendiri (bab 2:11-17) – yang artinya adalah: Dengan menyadari segala kelemahannya, manusia yang sombong perlu dan harus merendahkan diri, orang yang angkuh hatinya perlu menundukkan diri menjadi pelayan – demikian pula manusia yang congkak dan angkuh perlu mengubah sikapnya. Allah tetap mengasihi manusia.
Kita hendaknya sadar dan yakin bahwa segala kelemahannya manusia tak pernah akan ditinggalkan oleh kasih sayang Allah, oleh kerahiman Allah dan oleh penghiburan Allah. Tak akan ada kelemahan atau dosa besar apa pun yang tidak akan terjangkau dan disembuhkan oleh kasih sayang, oleh kerahiman dan oleh penghiburan Allah.
Sadarilah bahwa tak akan ada satu orang pun yang akan dikucilkan Allah dari kasih sayang-Nya, dari kerahiman-Nya dan dari penghiburan-Nya sebagaimana sudah dinyatakan oleh Simeon ketika ia menatang kanak-kanak Yesus dalam bait Allah di Yerusalem, “Mataku telah melihat keselamatan yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, untuk menyinari semua bangsa,” (Luk 2,30-32). Di sini jelas, bahwa Allah tidak perlu dicari. Tetapi Allah minta disambut. Dialah yang datang mencari manusia sebab semua manusia membutuhkan kasih sayang-Nya.
Masa Adven dimaksudkan untuk menyadari bahwa pendekatan Allah dengan manusia telah mengalami perubahan besar. Dalam diri Yesus, Allah mendatangi manusia untuk berbagi dengan manusia kehidupan-Nya dan kebahagiaan-Nya. Manusia menutup hatinya bagi kunjungan dan kasih sayang Allah, apabila manusia tidak rela berbagi kasih sayangnya dan pengampunan kepada saudara-saudaranya.
Warta Injil hari Minggu ini mempersiapkan kita atas kedatangan Tuhan Yesus yang pertama kali. Namun, sebenarnya seperti dalam surat Paulus kepada jemaat di Filipi (Flp 1:4-6,8-11) yang merupakan bacaan II dalam Minggu ini perhatian kita masih diarahkan kepada kedatangan Kristus yang kedua. Buah-buah kebenaran yang dikerjakan Tuhan di tengah umat, khususnya salib, patut disyukuri dan menjadi yang menentukan di hari kedatangan Kristus itu.
Maka, marilah kita menanggapi suara yang datang dari padang gurun itu dengan menjadikan hati kita sebagai jalan yang mulus bagi Tuhan agar melalui perbuatan kasih kita dan pengampunan yang kita trima, Tuhan dapat menyatakan cinta kasih-Nya dan pengampunan kepada sesama kita juga.***
DOA:
Ya Allah yang Maharahim, kami sadar bahwa kami adalah orang-orang yang lemah dan sering kali jatuh ke dalam dosa. Pada kesempatan masa Adven ini, kami memohon kepada-Mu supaya Engkau tetap mendorong dan memampukan kami untuk selalu bertobat, mengarahkan hati kepada Putra-Mu yang hadir di tengah-tengah kami. Amin.
LEAVE A COMMENT