RENUNGAN MINGGU BIASA XXVII
Dipanggil Untuk saling Melengkapi
- Minggu, 3 Oktober 2021
- Injil Mrk 10:2-12
- Oleh Romo Thomas Suratno SCJ
Manusia diciptakan untuk saling melengkapi, menjadi satu manusia yang utuh. Kesatuan antara suami-istri diletakkan oleh Allah ke dalam manusianya sendiri. Itulah maksud dan kehendak Allah yang paling asli untuk manusia.
Di luar lingkungan umat Kristen, perceraian sering menjadi praktik yang mudah diterima bahkan memang diperbolehkan. Karena itu, pada waktu ditanya orang luar apakah perceraian diperbolehkan, Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan mereka yang semu. Ia justru sebaliknya membongkar apa yang menjadi mentalitas mereka; menyingkapkan bahwa mereka menggunakan hukum hanya dari segi kelonggaran, demi kepentingan mereka sendiri, artinya boleh menyuruh istri pergi.
Yesus tidak mau menjawab tentang apa yang boleh, tetapi bertanya tentang apa yang harus dilakukan menurut hukum mereka. Yesus mengartikan hukum dari segi kewajiban terhadap orang lain, di sini terhadap istri yang disuruh pergi. Hukum mewajibkan mereka untuk menyatakan secara tertulis bahwa perempuan itu sudah tidak terikat lagi. Mereka wajib memberikan keterangan resmi kepadanya agar nasibnya jangan terkatung-katung.
Kalau suatu masyarakat sudah tidak peka lagi terhadap kehendak Allah dan mulai mempraktikkan perceraian (dll.), tidak dapat tidak masyarakat itu memerlukan undang-undang yang mengatur praktik-praktik yang kurang baik itu, agar jangan pihak yang lemah menjadi korban.
https://www.youtube.com/watch?v=cxP4tnuax80
Akan tetapi, Yesus meminta agar pengikut-Nya tidak menggunakan kemungkinan bercerai yang diatur dalam undang-undang masyarakat mereka. Alasannya, perceraian yang diundang-undangkan itu sesungguhnya tidak dikehendaki Allah. Perceraian bertentangan dengan kodrat yang diberikan Sang Pencipta kepada manusia sebagai laki-laki dan perempuan.
Mereka diciptakan untuk saling melengkapi menjadi satu manusia yang utuh. Kesatauan antara suami dan istri itu – yang melampaui segala hubungan lain di antara manusia – bukan cuma prakarsa mereka berdua tetapi berurat berakar dalam karya penciptaan; diletakkan oleh Allah ke dalam manusianya sendiri; dan dengan demikian merupakan maksud dan kehendak Allah yang paling asli untuk manusia.
Seperti yang kita dengar dalam warta Injil hari ini diskusi tentang perceraian antara Yesus dan orang-orang Farisi kiranya baik kalau kita lihat dalam konteksnya. Pertama-tama kita harus sadar bahwa Orang-orang Farisi tentunya mengenal dengan baik Kitab Taurat tentang keluhuran perkawinan tetapi sayang mereka mau mencobai Yesus. Mereka bertanya kepada Yesus apakah seorang suami boleh menceraikan istrinya karena Musa sendiri juga mengizinkannya dengan surat cerai (Ul 24:1-4).
Yesus tidak menjawab ya atau tidak tetapi mengatakan bahwa adanya perceraian di atas dasar surat cerai yang dibuat oleh Musa karena “ketegaran hati” mereka. Tetapi Tuhan sendiri tidak memiliki rencana apa pun untuk memisahkan relasi pria dan wanita dalam perkawinan.
Sejalan dengan Kitab Taurat dalam Kitab Kejadian, Penginjil Markus menulis, “Allah pada mulanya menciptakan laki-laki dan perempuan dan laki-laki itu akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya supaya menjadi satu daging sehingga apa yang dipersatukan Allah janganlah diceraikan manusia,” (Mrk 10:6-9).
Dari jawaban Yesus nyata sekali maksudnya, dalam konteks orang Farisi yang mencobai Dia dan Yesus yang menanggapi persoalan menceraikan karena ketegaran hati suami, lalu mengembalikan maksud perkawinan asali dari Allah bahwa Allah tidak menghendaki perceraian “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
Di samping itu, tampak pula bahwa bagi-Nya tidak ada perbedaan derajat antara suami-istri. Hanya saja, lingkungan masyarakat sering cenderung untuk mengutamakan hak suami dan menekankan kewajiban istri. Akan tetapi, bagi pengikut-pengikut Yesus perbedaan serupa itu tidak boleh ada. Suami dan istri mempunyai hak, kewajiban dan larangan yang sama. Menyadari kederajatan suami-istri itu menjadi sangat penting dalam usaha untuk mewujudkan kehendak Allah, yakni memeliharan kesatuan dan keresasian perkawinan seumur hidup.
Seberapa luhurkah perkawinan itu? Di dalam Kompendium Katekismus Gereja Katolik dikatakan bahwa baik pria maupun wanita harus mengerti bahwa Allah adalah cinta dan yang telah menciptakan manusia untuk cinta, telah memanggilnya untuk mencinta. Dengan menciptakan laki-laki dan perempuan, Allah memanggil mereka kepada persatuan hidup yang intim dan cinta di antara mereka dalam perkawinan. Dengan demikian mereka bukan lagi dua melainkan satu (Mat 19:6).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa tujuan Tuhan menetapkan perkawinan? Hubungan perkawinan antara laki-laki dan perempuan, yang didasarkan dan didukung dengan hukum-hukumnya sendiri oleh Tuhan, bertujuan untuk persatuan dan kebaikan suami dan istri dan mempunyai serta mendidik anak-anak.
Lebih dari itu, perkawinan yang diangkat menjadi Sakramen menjadi lambang persatuan kekal antara Yesus dan Gereja-Nya. Adakah Gereja tanpa Kristus? Ketahuilah bahwa sakramen perkawinan melahirkan ikatan yang kekal dan eksklusif antara suami dan istri. Tuhan Allah sendiri memeteraikan kesepakatan nikah. Maka dikatakan dalam Hukum Gereja Katolik (Kitab Hukum Kanonik) bahwa perkawinan yang sudah ‘ratum dan consummatum’ antara pria dan wanita yang sudah dibaptis tidak pernah dapat diceraikan. Mereka justru diberi rahmat untuk mencapai kekudusan dan bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak.
Maka dari itu, untuk tujuan yang mulia ini, perkawinan itu tidak dapat diceraikan. Tidakkah seperti yang telah saya kutipkan tadi bahwa Yesus dalam warta Injil hari ini mengatakan, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia,” (Mrk 10:9). Lebih keras lagi Yesus berkata, “Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan dengan istrinya itu. Dan jika istri menceraikan suaminya lalu kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina,” (Mrk 10:11-12).
Keluhuran perkawinan terletak pada kesepadanan suami dan istri. Namun demikian ada saja dosa yang dapat mengancam perkawinan. Akibat dosa asal maka persekutuan laki-laki dan perempuan sering kali terancam oleh ketidakharmonisan dan ketidaksetiaan. Kita tahu bahwa dosa-dosa dalam perkawinan bagi kita umat kristiani antara lain adalah perselingkuhan, perzinahan, poligami, menolak untuk tidak memiliki anak dan perceraian.
Perzinahan dan poligami bertentangan dengan kesetaraan martabat pria dan wanita. Bahkan ada yang menolak untuk tidak mempunyai anak yang berarti bertentangan dengan anugerah untuk mempunyai anak dalam perkawinan. Sehingga jelaslah bagi kita bahwa perceraian tentu saja bertentangan dengan sifat tak terceraikannya perkawinan itu sendiri.
DOA:
Ya Tuhan Allah, lewat pewartaan Injil hari ini kami mohon semoga Engkau memelihara dan mempersatukan suami dan istri dalam sakramen perkawinan selama-lamanya, demi kemuliaan nama-Mu kini dan sepanjang segala masa. Amin.
LEAVE A COMMENT