RENUNGAN MINGGU BIASA XXII
Kepekaan Rohani yang Mengalir dari Batin
- Minggu, 29 Agustus 2021
- InjilMrk 7:1-8, 14-15, 21-23
- Oleh Romo Thomas Suratno SCJ
Jika saja hingga saat ini kita masih bergumul pada hal-hal yang lahiriah semata-mata, sementara hati batin kita penuh kebusukan, apakah yang harus kita lakukan supaya kita bisa keluar dari sana?
Dalam tiap agama ditumbuh-kembangkan hidup rohani lewat lembaga hukum, aturan, tatacara, upacara, dan pemahaman Kitab Suci. Jadi ada tujuan, yakni kerohanian, dan ada pula sarananya, yaitu kelembagaan tadi. Dalam kenyataan kerap tujuan dan sarana saling bertukar. Misalnya, tata upacara atau hukum-hukum agama menjadi makin dipentingkan dan menyingkirkan semua yang dirasa tidak sejalan. Akibatnya, kelembagaan lambat laun menjadi tujuan beragama, bukan lagi sarana. Orang bisa mulai merasa sesak, kurang leluasa.
Sering dalam keadaan seperti ini ada usaha pembaruan untuk menjernihkan tujuan semula.
Permasalahan ini tercermin pula dalam warta Injil hari ini. Yesus yang ditanya orang Farisi dan ahli Taurat, mengapa murid-murid-Nya tidak menaati adat turun temurun membasuh tangan sebelum makan. Orang-orang itu mencurigai Yesus dan murid-muridnya sebagai kaum yang tidak peduli lagi akan lembaga agama.
Namun, dari jawaban yang diberikan-Nya, dapat disimpulkan bahwa Yesus bukannya hendak mengurangi wibawa kelembagaan agama. Ia justru ingin memurnikannya sehingga dapat membawa ke tujuan yang sesungguhnya. Ia memakai bahasa yang amat nyata seperti pernyataan bahwa yang perlu dibasuh bukannya tangan atau piring mangkuk, melainkan hati/batin manusia. Mengapa terjadi demikian? Konsep atau ajaran apa yang melatarbelakangi peristiwa seperti itu?
Di kalangan orang Yahudi pada zaman Yesus, pembasuhan tangan sebelum makan termasuk kesalehan yang dijalankan oleh para imam dan mereka yang berurusan dengan ibadat. Adat seperti itu ditulis di dalam Talmud, yang berisi kumpulan penjelasan aturan dan hukum agama yang terangkum dalam Misyna. Misyna sendiri merupakan penjabaran dari hukum-hukum Taurat. Bagaimanapun juga, sebenarnya tidak ada kewajiban seperti itu bagi yang bukan imam. Orang Farisi dan para ahli Taurat tidak termasuk golongan imam.
Memang ada kewajiban membasuh diri sebelum masuk dalam Bait sebelum beribadat, tetapi yang dibicarakan dalam warta Injil hari ini ialah pembasuhan tangan secara ritual sebelum makan dan bukan ritual dalam kaitannya dengan ibadat. Sebenarnya Yesus tidak sungguh perlu ditanya-tanya mengenai hal seperti itu karena permasalahannya hanya menyangkut para imam Yahudi. Yesus dan para muridnya itu ‘kan bukan imam dan tidak bertugas sebagai imam dalam masyarakat Yahudi pada waktu itu.
Masalah yang terungkap dalam warta hari ini mencerminkan keadaan pada zaman generasi kedua pengikut Yesus. Pada masa itu, praktek membasuh tangan juga dijalankan oleh orang Yahudi yang bukan imam sebelum makan sebagai ungkapan kesalehan. Ternyata, para pengikut Yesus generasi kedua dari kalangan Yahudi banyak yang tidak menjalankannya. Mereka sebenarnya hanya mengikuti adat yang lebih tua dan tidak menambah-nambah dengan pelbagai praktik kesalehan.
Mengapa? Mereka belajar dari generasi pertama yang mengikuti sikap Yesus terhadap hukum agama, yakni menghayati semangatnya, bukan huruf atau bentuk luarnya. Patut diingat, para pengikut Yesus waktu itu belum menganggap diri dan belum dianggap memeluk “agama” baru. Mereka tidak mengikuti ritualisme dan legalisme yang semakin terasa di beberapa kalangan Yahudi pada zaman setelah Yesus. Baru kemudian mereka makin menjadi agama baru karena makin kelihatan dan terasa berbeda dengan tatacara dalam agama Yahudi. Kiranya penginjil Markus menyusun Injilnya dengan latar belakang seperti ini.
Sebetulnya Kaum Farisi itu orang-orang yang dengan sungguh-sungguh mau hidup menjalankan perintah agama secara radikal. Bahkan harfiah! Mereka mau menunjukkan begini inilah hidup mengikuti ajaran agama turun-temurun. Dan mereka berpengaruh besar dalam Sanhedrin, yakni lembaga peradilan agama dan pemerintahan di kalangan orang Yahudi. Mereka punya keyakinan, hidup seperti yang mereka jalani itu nanti akan berlangsung juga di akhirat. Jadi mereka mau menyucikan hidup duniawi sehingga menjadi semacam antisipasi hidup nanti. Di kalangan seperti inilah mulai tumbuh upaya-upaya kesalehan yang lebih besar dari yang biasa diatur dalam adat dan hukum agama.
Nah, dalam menanggapi kecenderungan ritualisme dan upaya menjamin keselamatan lewat sarana kesalehan itu para pengikut Yesus dari generasi kedua dan selanjutnya mencoba mengingat-ingat apa yang kiranya sudah dan akan diajarkan Yesus sendiri. Ada dua garis yang mereka temukan, dan kedua-duanya ada dalam Injil hari ini.
Pertama, mereka yakin bahwa sang Guru mengajarkan ibadat yang tulus, bukan sekadar puji-pujian dangkal yang tidak disertai keyakinan rohani. Seperti yang tertulis dalam Mrk 7:6-7. (Jawab-Nya kepada mereka: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.)
Di situ ditampilkan kembali Yes 29:13 yang berisi amatan tajam terhadap kurangnya integritas dalam kehidupan agama orang-orang di Yerusalem, pusat keyahudian waktu itu. Agama dijadikan dalih kepentingan manusiawi, kepentingan pihak yang berkuasa waktu itu. Akibatnya macam-macam ketidakadilan terjadi dan dibenarkan oleh cara beragama. Ibadat di Bait Allah memang dikelola baik, tetapi korupsi, kemelaratan didiamkan saja. Dengan demikian hidup rohani makin terpisah dari kehidupan yang nyata. Inilah yang dikecam oleh orang seperti Nabi Yesaya. Gemanya terdengar dalam warta Injil hari ini.
Kedua, para murid dari generasi kedua itu juga tahu bahwa hidup rohani yang tulus, jadi hidup beragama yang sejati, bertujuan memurnikan hati/batin manusia. Bila sungguh-sungguh, maka tak perlu lagi khawatir apa ada yang mengotori atau yang perlu disucikan dulu. Orang sudah hidup dalam kesucian batin yang mengangkat yang ada di luar. Bahkan mereka yakin Guru mereka menganggap yang ada dalam hidup sehari-hari itu bersih, tidak mengotori. Yang bisa mengotori itu tentunya hati/batin yang tak bersih. Inilah yang digemakan dalam Mrk 7:14-15 (Lalu Yesus memanggil lagi orang banyak dan berkata kepada mereka: “Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.”). Dengan kata lain, bila orang beranggapan yang di luar itu hanya mengotori belaka, maka dapat disimpulkan bahwa kehidupan hati/batin yang bersangkutan sendirilah yang tidak beres.
Maka dari itu, dua pokok jawaban itu tetap berarti bagi zaman kita saat ini. Sekarang ada kecenderungan menjalankan sikap agamaist secara berlebihan. Yang ada di luar lingkup keagamaan dianggap kotor dan busuk. Tetapi perlu diingat, manakah tujuan hidup beragama yang sebenarnya: melawan dunia dengan asal melawan atau mengembangkan hidup rohani yang mantap sehingga dapat berdialog dengan pihak lain. Mungkin kita akan merasa bahwa kita sudah jauh lebih maju dari pelbagai kelompok “lain”. Kita merasa toleran, terbuka, berpijak pada kenyataan di masyarakat.
Maka pertanyaan ini sungguh baik untuk direnungkan bersama: Sungguh sudah bersihkah yang ada di dalam hati/batin kita? Apakah kita memiliki cara pandang yang memadai mengenai keadaan di sekitar kita. Atau asal giat belaka, asal mengubah, asal memasyarakat? Arah jawaban kedua tadi masih banyak artinya. Ingat dan sadrilah bahwa hanya bila kita juga bersih dari dalam maka yang keluar akan bersih, bila tidak maka kita hanya mengeruhkan suasana.Kalaulah pada akhir warta Injil hari ini (Mrk 7:21-22) terdapat daftar panjang pelbagai macam kebobrokan moral. Jumlahnya ada 13 butir.
Yang pertama pikiran jahat (= itikad busuk) dan yang terakhir kebebalan (tak bisa membeda-bedakan apa yang boleh dan tak boleh dikerjakan) sebetulnya erat berhubungan. Bila orang tak punya sikap batin bijak (kebusukan no. 13), maka yang ada dalam pikirannya ialah rencana yang akhirnya buruk belaka (kebusukan no. 1). Dengan tiadanya kebijaksanaan batin itu maka akan menelurkan 11 kebusukan lain yang seperti yang tertulis di antaranya.
Nah, bagi pembaca zaman itu, cukup jelas bahwa Yesus tidaklah mendaftar kebusukan begitu saja, melainkan mengajar mereka di mana benih kebusukan sendiri merajalela, yakni dalam batin manusia yang tak peduli lagi akan sisi-sisi rohani. Hati/batin yang demikian itu memupuk kebusukan.
Berdasarkan apa yang diurai tadi, maka perlulah kita bertanya diri sebagai refleksi atau permenungan kita minggu ini: Bagaimana sebenarnya keadaan, situasi-kondisi kita sebagai umat beriman, apakah kita hanya mementingkan hal-hal lahiriah, aturan-aturandan perintah agama sehingga kita secara lahiriah nampak saleh ataukah kita senantiasa mengusahakan dan mengutamakan hati/batin kita supaya tidak kotor sehingga apa yang kita wujudkan atau hasilkan dalam hidup sehari-hari buah-buahkeutamaan ilahi?
Seandainya sampai saat ini kita masih bergumul pada hal-hal yang lahiriah namun hati/batin kita penuh kebusukan, lalu apa yang harus kita lakukan supaya kita bisa keluar dari sana? Dengan situasi-kondisi seperti ini perlulah kita menumbuhkan kepekaan rohani kita sehingga kebusukan tak subur lagi dalam hidup kita.
Mau berefleksi dan bermenung, bertanya apa yang harus kita lakukan sehingga hati/batin kita sungguh bersih dan ini menjadi dasar hidup serta pelayanan kita sebagai umat beriman.***
DOA:
Ya Tuhan Yesus, basuhlah diri kami dengan air kesucian Roh-Mu sehingga hati kami akan senantiasa memancarkan kesucian yang keluar dari hati-Mu sendiri. Kami sadar akan kenyataan hidup kami yang penuh noda dosa, maka ampunilah diri kami, bersihkanlah raga dan batin kami, maka hidup kami akan menjadi pujian kemuliaan Nama-Mu, kini dan sepanjang segala masa. Amin.
LEAVE A COMMENT