RENUNGAN MINGGU BIASA XXI
Yesus Membawa Kita ke Hidup Kekal
- Minggu, 22 Agustus 2021
- Injil Yoh 6:60-69
- Oleh Romo Thomas Suratno SCJ
Yesus bukanlah seorang guru yang mengajarkan sesuatu yang biasa-biasa saja. Dia mengajak orang untuk belajar menemukan Yang Ilahi.
Dari warta Injil Yoh 6:60-69 yang tadi kita dengar bersama dapat disimpulkan bagaimana para murid yang paling dekat pun bisa mengalami kesulitan dalam memahami perkataan Yesus mengenai dirinya sendiri sebagai roti kehidupan yang turun dari surga.
Lebih sukar lagi mereka untuk mengerti penjelasan Yesus dalam Yoh 6:65 bahwa tak ada seorang pun dapat datang kepada-Nya bila Bapa tidak mengaruniakannya. Dan dikatakan bahwa untuk menemukan jalan sampai ke Bapa, katanya perlu lewat Yesus.
Sekarang ditandaskan, untuk datang kepada Yesus perlu karunia dari Bapa. Sungguh pembicaraan yang ribet! Tidak mengherankanlah, akhirnya banyak yang meninggalkan Yesus dan tak jadi pengikut-Nya lagi. Lalu, bagaimana kita bisa memahami Injil dan pesan-Nya pada hari ini? Tentu kita perlu mendalami.
Dalam kisah sebelumnya, di Kapernaum Yesus didatangi banyak orang yang mengharapkan makanan berlimpah seperti diberikannya beberapa waktu sebelumnya di seberang lain. Harapan seperti itu bahkan pernah membuat orang-orang tersebut bersemangat sekali sampai bermaksud mengangkatnya menjadi raja. Tetapi kita tahu, Yesus menyingkir (Yoh 6:15).
Baik diketahui, penguasa wilayah di Galilea pada waktu itu ialah Herodes Antipas yang kurang disukai orang Yahudi karena memihak kepentingan kaisar Romawi. Rupanya, gairah orang banyak terhadap Yesus dilandasi harapan akan seorang pemimpin yang lebih memperjuangkan orang setempat. Dengan apa yang dibuat–Nya (memperbanyak roti), Yesus dianggap seperti sedang berkampanye politik dengan membagi-bagi makanan gratis.
Tapi kali ini ia tidak menjauhi orang-orang yang mencari-Nya, melainkan memberi pengajaran bagaimana mereka mesti memurnikan harapan mereka. Dia berusaha membuat mereka sadar bahwa yang mereka butuhkan ialah makanan yang memberi hidup kekal, bukan sekadar pengisi perut (kebutuhan sesaat). Orang banyak diajak-Nya mau menyadari kehadiran Yang Ilahi di dunia ini.
Sebetulnya mereka bersimpati pada imbauan Yesus tadi, tetapi mereka juga ingin tahu bagaimana “menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang dikehendaki Allah”, bagaimana dapat hidup sebaik-baiknya menurut kehendak-Nya. Yesus menjawab, hendaknya mereka percaya kepada dia yang telah diutus Allah sendiri kepada mereka (Yoh 6:28-29). Maksudnya, tak lain adalah diri Yesus sendiri. Hendaknya mereka terbuka menerima ajaran-Nya mengenai siapa Yang Maha Kuasa itu dan dengan demikian memperoleh hidup dari-Nya.
Orang-orang itu kemudian menegaskan bahwa leluhur mereka sudah tahu dan mempercayai perkara itu –mereka diberi-Nya makan roti dari surga. Nah, di sini, mereka berpikir akan pengalaman umat di padang gurun dalam perjalanan ke Tanah Terjanji. Yesus kemudian menerapkan kepercayaan turun temurun itu kepada diri-Nya. Dia inilah roti kehidupan yang sebenarnya, yang kini diberikan dari surga untuk membuat manusia sampai ke tujuan perjalanan hidup mereka. Bukan seperti MANNA yang menjadi penyambung hidup sementara, Diri-Nya memungkinkan orang sampai pada hidup kekal (Yoh 6:48-50).
Pengajaran baru seperti ini tidak begitu saja diterima. Injil Yohanes menyampaikan kesulitan dari dua kelompok orang. Kelompok pertama, yang bereaksi dari kalangan orang-orang Yahudi yang berkumpul mendengarkan pengajaran-Nya di rumah ibadat di Kapernaum. Kelompok kedua, tanggapan kritis berikutnya berasal dari kalangan murid sendiri (yang diwartakan hari ini).
Sulit dicerna penegasan Yesus bahwa dirinya itu roti kehidupan dalam arti tadi. Apakah ini bukan klaim rohani yang berlebihan? Begitulah kiranya yang berkecamuk dalam benak pikiran para murid. Tentu saja, Yesus mengerti kesulitan mereka. Memang perkataan-Nya mengguncang, juga bagi mereka yang sudah mulai mengikuti-Nya.
Pengajaran Yesus kepada orang-orang sezaman-Nya dulu memang amat berani. Bahkan, luar biasa! Bukan hanya mengguncang, tapi juga serasa meruntuhkan bangunan doktrin keagamaan yang hingga saat itu tidak pernah dipertanyakan dan memang tak boleh dipertanyakan. Yesus mengurungkan satu pokok yang paling dasar dalam bangunan keagamaan Yahudi, yakni gagasan bahwa dari hari ke hari umat dihidupi langsung oleh Allah dengan makanan dari surga.
Ditegaskannya juga, hal itu belum cukup untuk menjamin orang sampai ke tujuan hidup yang sesungguhnya, yakni hidup abadi. Yang bakal menghidupi manusia ialah semua yang dilakukan dan diajarkan-Nya. Pada kesempatan lain, ia bahkan berbicara mengenai keruntuhan Bait Allah. Dan diri-Nya akan menjadi Bait Allah, yakni tempat kediaman Allah, yang sesungguhnya. Maka orang diajak memasuki Bait Allah yang baru ini, bersatu dengan yang paling inti dalam kehidupan-Nya, yakni memperkenalkan Allah dalam wajah kebapaan-Nya kepada seluruh umat manusia.
Tentu saja klaim seradikal itu sangat menggoncang dan tentu saja membuat kegaduhan atau menggegerkan kalangan orang Yahudi. Memang, bila tidak dicermati dengan hidup batin, lembaga keagamaan suatu saat justru akan membekukan kehadiran Ilahi yang sebenarnya dalam doktrin dan peraturan ritualnya. Namun apakah sekarang semuanya perlu ditanggalkan? Mana dasar pegangan bahwa yang diikuti sekarang ini benar dan bukan hanya harapan semu?
Yohanes mengajak pembaca Injilnya, dulu dan kini, untuk berani menghadapi persoalan ini. Pegangan satu-satunya ialah kata-kata Yesus sendiri. Namun pertanyaan berikutnya: Yesus yang mana, yang sebenarnya mesti kita pegang? Yang dijelaskan oleh Pastor, Uskup, Paus? Yang dirumuskan dalam Katekismus Gereja Katolik? Yang dialami dalam retret? Dan mana tuntunan Roh? Bagaimana dengan penjelasan yang jauh lebih menarik dari kalangan lain? Di mana di situ ada kehangatan, lebih meriah, lebih menampung daripada kelompok kita sendiri!
Warta Injil hari ini juga menyodorkan hal yang sama kepada para murid dulu. Dan perkataan keras yang sulit dicerna telah membuat banyak pengikut-Nya mengundurkan diri. Dan Yesus sendiri seolah seperti sudah lupa daratan.
Yesus bahkan menantang kelompok yang paling dekat, yakni kedua belas murid-Nya. Yesus menantang, apa kalian tidak mau pergi juga? Dan seakan-akan belum cukup, kemudian mengatakan salah satu di antara dua belas murid pilihan-Nya itu bahkan telah menjadi Iblis, yang dimaksud ialah Yudas Iskariot, yang akan berkhianat.
Dua hal pokok disampaikan Penginjil Yohanes:
Pertama, mengenai roti kehidupan yang turun dari surga. Berarti surga kini datang ke dunia manusia. Surga bukan lagi tempat sudah jadi yang nun jauh di sana dan belum terjangkau. Yang hendak ditawarkan Injil hari ini ialah benih surga yang tumbuh di dunia ini yang bila tumbuh terus akan membesar dan menaungi semua yang hidup di bawahnya. Tetapi dunia manusia telah sedemikian teralienasi (terasingkan) dari keilahian tadi sehingga tidak dapat lagi menerimanya, tidak dapat mencernakannya dan menjadikannya bagian dalam kehidupannya.
Maka,satu-satunya jalan ialah bila Yang Mahakuasa membuat manusia mampu ke sana. Caranya ialah dengan membuat satu orang dari antara manusia dapat melihat dan menghidupi kehadiran surga. Orang itu tak lain adalah Yesus. Sebetulnya tidak sesulit seperti dipikirkan para murid. Namun, justru itulah fakta yang terjadi.
Kedua, Yohanes menyampaikan pengakuan Petrus akan kemesiasan Yesus dengan cara yang khas. Pada bagian awal Injilnya kita tahu, Yohanes menceritakan bagaimana Yohanes Pembaptis memberi tahu dua orang muridnya bahwa Yesus yang lewat di situ itu adalah Anak Domba Allah (Yoh 1:36), maksudnya persembahan yang mendapat perkenanan penuh dari Allah. Salah seorang yang mendengar Yohanes Pembaptis itu, yakni Andreas, selanjutnya menemui Simon, saudaranya dan mengatakan “kami telah menemukan Mesias” dan membawanya kepada Yesus. Lalu Yesus memberi Simon nama baru, yakni Kefas, artinya Petrus (Yoh 1:40-42).
Dan kini di saat-saat kritis, Petrus menemukan kembali kekuatan yang memegangnya pada perjumpaan pertama tadi. Ia tidak melihat orang lain yang dapat diikuti selain Yesus sendiri, ia memiliki perkataan yang membawa ke hidup kekal – Ia itulah Yang Kudus dari Allah yang mahakuasa. Maksudnya, pada diri Yesus itulah tempat keilahian sendiri hadir secara utuh.
Surga rupa-rupanya tampil sebagai kenyataan yang dapat mulai dibangun di dunia sini bersama dengan Dia, Yesus, yang ada dalam batin kita – Roti Kehidupan. Lebih lanjut, perjumpaan dengan dia yang amat dekat dengan Allah sendiri menumbuhkan kerohanian yang makin matang. Yesus bukan guru yang mengajarkan yang biasa-biasa saja, melainkan Ia mengajak orang belajar untuk dan sampai menemukan Yang Ilahi.
Maka, apakah saat ini kita sudah percaya akan Tuhan Yesus seperti yang diwartakan Injil tadi? Atau justru seperti para murid di mana akhirnya banyak yang mengundurkan diri karena ajaran Tuhan Yesus keras, tidak masuk akal, tidak bisa ditrima, terlalu tinggi, bahkan menakutkan? Dengan kata lain, kita hanya menginginkan makanan yang datang dari surga, yang dapat mengenyangkan walaupun hanya sementara kita hidup di dunia ini. Dan belum mau menerima Yesus sungguh2, walau pun Yesus itu sejatinya adalah Roti Kehidupan yang telah turun dari surga yang dapat membawa keselamatan.
Dengan menerima Yesus, kita umat Kristen – Katolik – khususnya, berarti kita telah menerima benih hidup kekal di dunia ini. Tinggal apakah kita tetap percaya dan mau terus bersatu dengan-Nya, tumbuh dan berkembang dengan menerima Ekaristi Tuhan, sehingga kita akhirnya memperoleh jaminan dari janji yang telah Yesus sabdakan. Barangsiapa yang percaya kepada Yesus, Anak Allah, akan memperoleh hidup yang kekal.***
DOA:
Ya Tuhan Yesus, walau kami tak dapat mengerti secara keseluruhan misteri tentang Diri-Mu, namun kami sungguh percaya bahwa Engkau adalah Mesias Sang Penyelamat Junjungan kami. Maka terangilah senantiasa akal budi dan hati serta pikiran kami dengan Roh-Mu, sehingga kami dapat menyelami misteri dan semakin percaya pada-Mu. Amin.
LEAVE A COMMENT