RENUNGAN MINGGU BIASA XII

RENUNGAN MINGGU BIASA XII

Mengalahkan Badai Ketidakpercayaan

 

  • Minggu, 20 Juni 2021
  • Injil: Mrk 4:35-41
  • Oleh Romo Thomas Suratno SCJ

 

Kita diajak untuk belajar bersikap tenang dalam bahaya. Bukannya tak peduli, melainkan seperti yang terjadi pada diri Yesus. Dialah gambar orang yang percaya, yang merasa sepenuhnya berada dalam lindungan ilahi.

 

Pada hari Minggu Biasa XII penginjil Markus dalam Injilnya Mrk 4:35-41 mengajak pembaca /pendengar mendengarkan kisah mukjizat yang dikerjakan Yesus. Ia meredakan angin ribut yang mengancam perahu yang ditumpangi-Nya bersama para muridnya.

Kisah mukjizat yang disampaikan penginjil Markus bertujuan agar orang semakin melihat siapa sebenarnya Yesus itu. Pusat perhatian tidak diletakkan pada mukjizatnya sendiri. Kisah mukjizat dimaksud agar pembaca /pendengar semakin mantap mengikuti Yesus.

Dengan kata lain, kisah mukjizat ditampilkan dengan tujuan membuat orang lebih dekat pada diri Yesus dan pengajarannya, dan bukan sebagai kisah ajaib belaka. Boleh kita bayangkan dan berfikir bahwa Yesus itu adalah tokoh yang memiliki kuasa besar atas alam.

Bagi kita yang mendengar warta ini: makna apa yang dapat kita ambil dari dari kisah Yesus ini? Kiranya itulah kunci untuk memahami kisah mukjizat dalam Injil tadi. Jadi, kisah mukjizat bukan dimaksudkan untuk membuat orang kagum akan kehebatan Yesus. Juga bukan untuk menimbulkan hasrat di kalangan para murid dulu maupun sekarang untuk membuat bermukjizat.

Dalam warta hari ini diperlihatkan betapa para murid, orang-orang yang terdekat mengalami sendiri bagaimana Yesus mempunyai kuasa atas kekuatan-kekuatan yang menakutkan. Badai dan laut memang dihubungkan dengan kekuatan yang selalu mengancam kehidupan orang yang takwa Karena itulah dalam doa-doa Perjanjian Lama, bahaya terbesar biasa digambarkan sebagai badai di lautan.

Ini terungkap misalnya dalam doa Mzm 69:15-16: “Lepaskanlah aku dari dalam lumpur, supaya aku jangan tenggelam, biarkan aku lepas dari orang-orang yang membenci aku, dan dari air yang dalam! Janganlah gelombang air menghanyutkan aku…”

Itulah kiranya yang dirasakan para murid waktu itu. Dan dalam keadaan ini mereka berseru kepada Yesus. Ia memang meredakan badai.

Menarik untuk diperhatikan bahwa Penginjil Markus mengisahkan Yesus tidur di buritan –bagian belakang perahu– dengan memakai bantal. Ini cara Markus membuat pembaca /pendengar bertanya-tanya. Lho, dalam keadaan gawat seperti itu kok masih bisa tidur lelap, malah pakai bantal segala!

Atas peristiwa ini boleh jadi Markus ingin mengungkapkan hal-hal yang bisa ditemukan bila kisahnya diikuti dengan saksama. Seperti disebutkan di atas, kata “bantal” dan di sini barang yang berperan sebagai bantal itu ialah semacam papan melintang yang biasanya dipakai duduk atau bersandar oleh orang yang bertugas memegang kemudi perahu.

Buritan, tempat yang biasanya sempit dan hanya bisa diduduki oleh juru mudi dan tentu saja tidak ada cukup ruang untuk orang lain. Maka pertanyaan muncul: Apakah penginjil Markus hendak mengatakan bahwa Yesus bertugas mengemudikan perahu.

Kalau memang begitu, Yesus seharusnya mengarahkan perahunya ke tempat yang tidak diamuk gelombang. Kok malah enak-enak tidur di situ! Bisa dimengerti mengapa para murid yang ketakutan itu berseru dengan nada kesal, “Guru, tak pedulikah engkau kalau kami binasa?” (ay. 38). Nada kesal ini tidak dijumpai dalam kisah yang sejajar dalam Mat 8:25: Tuhan, tolonglah, kami binasa.”, maupun Luk 8:24, “Guru, Guru, kita binasa!”

Nah, kedua Injil itu lebih memusatkan pada permintaan tolong dalam ketakutan.

Sedang penginjil Markus hendak memperlihatkan sisi-sisi Yesus dan para murid yang tidak ditonjolkan kedua Injil lainnya. Bisa tidur dengan enak itu bagi orang sekarang dan orang dulu punya arti sama. Yakni di mana seseorang hati nuraninya bersih dan percaya bahwa dilindungi Allah sendiri.

Di sini, Yesus di sini digambarkan sebagai manusia yang sedemikian merasa aman. Ia juga berani menyerahkan orang-orang yang mengikutinya berada dalam lindungan Allah sendiri.Tokoh seperti ini memang boleh dikagumi, tapi sekaligus juga bisa membuat gemas orang-orang yang dekat pada-Nya. Mengapa Dia seolah tak peduli para murid akan mati ketakutan seperti itu! Dia diperlihatkan sebagai orang yang enak-enak sendiri?

Nah, segera sesudah adegan ini kisah berubah. Yesus bangun dan menghardik angin dan membuat danau teduh. Pembaca /pendengar akan ingat motif dari Perjanjian Lama mengenai kuasa terhadap kekuatan laut dan badai yang mengancam kehidupan.

Ditawarkan dua gambar mengenai sosok Yesus: sosok manusia yang percaya teguh pada lindungan Allah, dan sosok dia yang menjadi tempat Allah memperlihatkan kuasanya atas daya-daya alam yang menakutkan. Pembaca yang jeli bisa memandangi yang satu dan tetap melihat yang lainnya karena memang sama. Inilah hikmat Injil Markus.

Apakah kisah mukjizat ini dapat dipahami sebagai kiasan bagi keadaan para murid yang terombang-ambing dan ketakutan di tengah badai kehidupan, baik dulu dan sekarang? Memang ada tafsiran seperti ini.

Namun, cocokkah kita baca kisah mukjizat ini dengan cara itu? Yesus mengatakan bahwa mereka sebenarnya kurang percaya. Memang kisah-kisah Kitab Suci lebih mudah dibaca dengan mengenakan skema “percaya” lawan “tak percaya”, lebih-lebih bila di dalam petikan ini sendiri kata-kata itu dipakai.

Seperti dua Injil lainnya, Markus menghubungkan ketakutan para murid dengan sikap kurang percaya. Kurang percaya kepada siapa? Pembaca bisa jadi segera berpikir mengenai sikap kurang percaya kepada kehadiran Yesus.

Tetapi sebenarnya Injil mau mengajarkan hal yang lebih dalam. Di situ ditonjolkan perbedaan antara sikap Yesus yang pasrah dan bisa tidur enak di tengah-tengah ancaman badai dan ombak di satu pihak dan para murid yang mudah guncang di lain pihak. Inilah yang kiranya hendak diperlihatkan dalam kisah mukjizat ini. Para murid diminta agar belajar bersikap tenang dalam bahaya. Bukannya tak peduli, melainkan seperti yang terjadi pada diri Yesus. Ia gambar orang yang percaya, yang merasa sepenuhnya berada dalam lindungan ilahi.

Dilihat dari konteks warta hari ini, di mana Yesus mengajak para murid, “marilah kita bertolak ke seberang”, menunjukkan hal ini seperti atau sebagai perutusan kepada para murid. Namun,tugas perutusan ini disertai rintangan dan bahaya yang menghalangi misi dan mengancam hidup para utusan.

Tentu saja kalau dilakukan atau dipraktikkan sekarang, kesulitan dan ancaman yang begitu besar menyebabkan kita, (jemaat, Gereja) akan menjadi ragu-ragu apakah Tuhan masih menaruh perhatian kepada mereka. Jemaat kesal karena Yesus ‘enak-enak tidur di buritan’. Dengan rasa kesal ini pula kita /jemaat membangunkan Dia dan berusaha menarik perhatian-Nya.

Di tengah kesulitan dan ancaman dari luar, menjadi kentara bagaimana jemaat masih kurang percaya kepada Tuhan dan kehadiran-Nya yang menyelamatkan. Kekuarangan di dalam diri mereka itu membuat mereka ketakutan, kurang berani, sehingga tidak dapat mengatasi  kesulitan dan meneruskan misi ke seberang!

Kemudian, memang tak dapat disangkal bahwa di sini juga diajarkan sikap percaya kepada Yesus. Tetapi tentunya yang dimaksud ialah percaya kepada dua sisi Yesus ini: dia yang sedemikian pasrah kepada Yang Maha Kuasa itu dan dia yang mampu membungkam badai.

Ay. 41 mengungkapkan pertanyaan para murid satu sama lain “Siapa sebenarnya orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepadanya?” Pertanyaan ini tak perlu dijawab dengan gampang dengan pernyataan-pernyataan teologis yang besar yang lazim kita ucapkan: Ia itu Anak Allah, Mesias, Penyelamat, meski semuanya benar. Kisah ini juga memberi jawaban sederhana tapi mendalam: Ia itu orang yang bisa sepenuhnya menyerahkan diri kepada lindungan ilahi.

Sebuah amatan lagi. Matius dan Lukas hanyalah mengatakan bahwa Yesus membentak badai dan gelombang, tapi Markus menyampaikan hardikannya dalam bentuk kutipan: “Diam! Tenanglah!” Kata yang kedua itu lebih daripada hanya menyuruh reda. Secara harfiah artinya “terberanguslah!”, seperti moncong ular naga yang tadinya terbuka mengancam dan kini diikat rapat.

Dalam sastra Ibrani dan sekitarnya, badai dan ombak dibayangkan sebagai ular naga raksasa yang menghujat wibawa ilahi yang telah mengatur jagat ini. Kekuatan-kekuatan yang mengacaubalaukan itulah yang disuruh diam.

Bila jalan pikiran ini diikuti, akan jelas bahwa bukan tiap kesulitan hidup boleh dibaca sebagai badai yang hanya bisa ditenangkan oleh kekuatan ilahi. Hanya yang menggugat wibawa ilahilah yang akan disuruh diam dan diikat mulutnya, hanya yang mau mengacaukan wibawanya. Para murid diajak membeda-bedakan badai yang hanya dapat diatasi kekuatan ilahi sendiri: badai ketidakpercayaan.***

Doa:

Ya Tuhan Yesus, kami sungguh berterima kasih dan bersyukur pada-Mu, karena Engkau telah hadir dan menunjukkan kepada kami teladan sikap hidup yang menghadapi persoalan dan tantangan di dunia ini sebagai orang yang sungguh percaya dan beriman pada Allah Bapa di surga. Makacurahkanlah senantiasa Roh Kekuatan-Mu dalam hidup kami, sehingga kami dimampukan untuk bersikap tenang dan tetap percaya bahwa Engkau pasti akan tolong kami. Amin.

LEAVE A COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *