RENUNGAN MINGGU BIASA VI
Agar Menjadi Sembuh
- Minggu, 14 Februari 2021
- Injil: Mrk 1:40-45
- Oleh Romo Thomas Suratno SCJ
Tuhan lebih dulu rindu menyembuhkan kita dari segala kelemahan dan dosa. Kita tak perlu berlama-lama menunggu agar Yesus datang melintasi tempat tinggal kita. Dia siap dijumpai kapan saja!
Dalam warta Injil Mrk 1:40-45 yang tadi kita dengar bersama dikisahkan bagaimana seorang penderita kusta memohon kepada Yesus dengan mengatakan bila Yesus menghendaki, tentu ia dapat membersihkannya, maksudnya menyembuhkannya. Yesus pun menyentuhnya dan mengatakan ia mau agar ia jadi bersih.
Begitu sembuh, orang itu diperingatkan agar tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun.
Kemudian disuruhnya pergi menghadap imam, karena menurut perintah Musa (Im 14:2-32), imamlah yang berwenang secara resmi menyatakan orang sudah bersih dari kusta.
Apa sebetulnya pokok persoalannya? Penyembuhan atau pernyataan bahwa sudah bersih dari kusta? Kita boleh bertanya-tanya, bagaimana perasaan Yesus ketika melihat orang tadi? Apa pula relevansi kisah ini bagi kita?
Sekilas melihat ke belakang tentang orang kusta. Tidak terbayangkan oleh kita, betapa memalukannya menjadi seorang yang sakit kusta, di zaman nabi Musa bahkan sampai ke zaman Yesus. Sudah badannya sakit, masih ditambah dikucilkan semua orang, termasuk oleh keluarganya sendiri. Kemudian ia harus memakai pakaian yang rombeng, dan membiarkan rambutnya terurai — mungkin maksudnya biar terlihat acak-acakan dan menarik perhatian.
https://www.youtube.com/watch?v=6PftqJIzJnU
Ia harus menutupi mukanya sambil berteriak-teriak, “Najis! Najis!” supaya orang-orang menjauh dan tidak tertular. Penyakit kusta dapat mengakibatkan kerusakan pada kulit dan mata, anggota-anggota tubuh yang memendek dan bengkok…. Singkatnya, membuat orang yang terkena penyakit itu menjadi buruk rupa.
Jika demikian keadaan orang kusta itu, tidaklah mengherankan jika ia menjadi nyaris putus asa, karena kesembuhan yang dinanti nampak mustahil, seiring dengan bertambah parahnya penyakitnya. Dalam keadaan semacam ini, ia mendengar tentang Yesus yang dikabarkan telah menyembuhkan banyak orang sakit.
Maka orang kusta itu pun nekad mendatangi Yesus. Walau pun menurut hukum Musa, orang kusta harus tinggal terasing di luar kota, namun hari itu ia masuk kota untuk menemui Yesus yang sedang berkeliling di sekitar Galilea. Ia datang kepada Yesus. Tersungkur dan berlutut di hadapan Tuhan Yesus, ia berkata, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menjamah orang itu.
Tak sulit membayangkan betapa besar kasih Yesus kepadanya dan oh, betapa besar rasa syukur orang kusta itu, ketika mendengar perkataan Yesus, “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Suatu adegan yang mestinya sangat membekas di hati para murid-Nya, sehingga ketiga penulis Injil — Matius, Lukas dan Markus — mencatat frasa yang sama persis: Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu.
Yesus tidak segan menjamah orang itu, walaupun menurut hukum Musa, orang yang menyentuh seorang yang kusta akan dianggap najis. Namun Yesus tidak berada di bawah hukum Taurat, melainkan berada di atasnya.
St. Bede mengatakan, “Tuhan Yesus datang tidak untuk membatalkan hukum Taurat namun untuk menggenapinya. Maka orang yang dikeluarkan oleh hukum Taurat ditahirkan oleh kuasa Tuhan Yesus. Rahmat yang membersihkan kotoran kusta orang itu tidak datang dari hukum Taurat, tetapi dari Yang ada di atas hukum Taurat…. Dengan menjamah orang kusta itu, Yesus membuktikan bahwa Ia tidak dapat menjadi najis oleh hukum itu. Sebab yang terjadi adalah sebaliknya, Ia membebaskan orang yang sakit itu dari kenajisannya. Juga mengagumkan, bahwa Yesus menyembuhkan dengan cara yang sama dengan cara bagaimana orang itu telah memohon agar disembuhkan….”
Orang kusta itu telah merendahkan dirinya, dengan datang berlutut di hadapan Yesus, maka Yesuspun datang merengkuhnya, menjamahnya dan menyembuhkan dia.
Hukum adat dan agama Yahudi dulu, meski sudah sembuh, orang kusta baru akan diterima kembali ke dalam masyarakat dan boleh ikut perayaan suci setelah dinyatakan sembuh dalam upacara yang hanya dapat dilakukan para imam. Hanya imamlah yang berhak menyatakan “najis” (kotor karena kusta) atau “tahir” (bersih, sembuh dari kusta).
Peraturan ini termaktub dalam bagian Taurat, yakni Im 14:2-32. Tujuannya tentunya menjaga kebersihan kurban. Tetapi pelaksanaan hukum itu kemudian menjadi soal.
Menjelang zaman Perjanjian Baru, semua upacara keagamaan yang penting semakin dipusatkan di Bait Allah di Yerusalem. Penegasan sudah tahir atau masih kotor praktis kemudian hanya dilakukan di Bait Allah pada kesempatan terbatas walaupun tidak ada larangan melakukannya di tempat lain. Alhasil,orang kusta yang sudah sembuh sekalipun sulit sekali mendapat pernyataan sudah bersih kembali.
Orang itu akan benar-benar terkucil dan tidak memiliki tempat mengadu lagi. Dengan latar belakang seperti ini Yesus menjadi harapan satu-satunya. Tak heran kalau orang kusta yang dikisahkan dalam Injil tadi datang kepada-Nya, berlutut, lalu mengatakan kalau engkau mau, engkau dapat mentahirkan diriku.
Orang itu memohon dua hal. Pertama,kesembuhan dari kusta, dan kedua, tidak kalah pentingnya, ia mohon agar Yesus mau menyatakan ia sudah tahir kembali. Baginya, Yesus inilah yang dapat memenuhi peraturan dalam Taurat karena kelembagaan yang didukung imam-imam tidak lagi mendukung. Inilah sudut pandang dan harapan orang kusta tadi. Lalu, bagaimana dengan Yesus?
Dikatakan Yesus “tergerak hatinya”. Di dalam Injil, sering dikatakan bahwa Yesus ‘iba hati’ bila melihat penderitaan atau kebutuhan orang yang tak terpenuhi. Ikut merasakan, itulah yang dimaksudkan Injil tadi. Tetapi pada ayat itu beberapa naskah tua memakai kata lain, yakni “orgistheis”, yang artinya marah, kesal, berang. Mana yang benar? Bukankah iba hati lebih cocok dan lebih biasa? Pemikiran seperti inilah yang mengakibatkan penggantian teks asli “marah” menjadi “iba hati” pada ayat tadi. Tidak di setiap tempat ia disebut iba hati sebetulnya ia marah.
Waktu itu di seluruh Galilea ia memberitakan Injil dan mengusir setan. Tentunya ia berharap kekuasaan setan dan penyakit akan surut. Tapi masih ada saja! Malah sekarang datang orang kusta yang sembari berlutut minta disembuhkan. Apa lagi yang belum Kulakukan, kata Yesus dalam hati! Kesal, berang, marah, begitulah perasaan Yesus waktu itu.
Dan dengan perasaan inilah ia mengatakan, tentu saja aku mau. Hai, kau, jadilah bersih! Dan seketika itu juga penyakit kusta itu pergi meninggalkan orang tadi, sama seperti demam yang lenyap dari badan ibu mertua Simon. Kekuatan kusta itu takut pada-Nya, begitulah gagasan penginjil Markus.
Selanjutnya dalam ayat berikut disebutkan Yesus “menyuruh pergi orang tadi dengan peringatan keras”.Dan dalam ayat selanjutnya dikutip kata-kata yang melarang orang itu menceritakan apapun kepada siapa saja dilanjutkan perintah agar menghadap imam agar dinyatakan bersih menurut hukum Musa.
Sebenarnya teks aslinya lebih keras, harfiahnya, “Dengan geram Yesus menyuruh orang itu pergi. Katanya, ‘Ingat, jangan katakan apapun kepada siapa saja!’”Orang itu disuruhnya menghadap imam supaya dinyatakan bersih menurut aturan Musa. Apa yang membuat Yesus geram?
Sering para imam, yang berwenang menyatakan orang kusta sudah sembuh serta bisa diterima kembali dalam masyarakat, kurang bersedia melakukannya. Jadi, akibatnya sekalipun sudah sembuh, orang yang bersangkutan tetap tersisih.
Yesus menyuruh orang itu membawa persembahan yang diwajibkan hukum untuk keperluan seperti itu justru untuk menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan siap dinyatakan bersih. Inilah yang dimaksud dengan “sebagai bukti”.
Tapi Yesus sendiri tentu juga tahu bahwa tidak mudah orang itu menemui imam yang bersedia menolong orang dirinya. Karena itu Ia geram. Lebih parah lagi, yang menghalangi bukan kekuatan jahat yang menyebabkan penyakit – yang sudah tersingkir – melainkan orang-orang yang memiliki wewenang menjalankan hukum Musa, yakni para imam! Inilah membuatnya geram dan merasa tak berdaya.
Bila dibaca sekilas, bagian pertama ayat terakhir (v45) memberi kesan bahwa yang pergi memberitakan dan mengabarkan ke mana-mana ialah orang yang baru saja dilarang mengatakan tentang hal itu. Beberapa kali memang Yesus ingin agar kejadian luar biasa yang dilakukannya tidak disiarkan. Tetapi “ia” dalam ayat tadi itu dapat menunjuk pada orang kusta, tapi bisa juga pada Yesus sendiri.
Secara harfiah bunyinya begini: “Sambil berjalan ia (=si kusta, tapi bisa juga Yesus) mulai mengabarkan dan menyebarluaskan…” Lebih lanjut, yang disebarluaskan, ialah “ton logon”, dari kata “logos”, yang bisa berarti “hal itu”, maksudnya penyembuhan, bila “ia” dimengerti sebagai orang kusta; tetapi “logos” bisa pula berarti “kata”, dan dalam konteks ini khususnya, “Injil”. Ini cocok bila yang dimaksud dengan “ia” ialah Yesus sendiri.
Memang akhirnya orang yang barusan disembuhkan itu menyebarluaskan berita tentang hal itu. Ia tidak diam seperti yang diinginkan Yesus. Tetapi juga benar bahwa Yesus mengabarkan dan menyebarluaskan Injil.
Dalam kedua makna ini, kejadiannya sama: baik warta Injil maupun berita tentang kesembuhan si kusta itu tersebar luas. Akibatnya juga sama, seperti disebutkan dalam bagian kedua ayat tadi, “…ia (=Yesus) tidak dapat memasuki kota dengan terang-terangan. Ia tinggal di luar di tempat-tempat terpencil, namun orang terus juga datang kepadanya dari segala penjuru.”
Boleh dicatat, dalam teks asli tidak dipakai kata “Yesus” yang ditambahkan dalam terjemahan Indonesia demi kejelasan. Kiranya penginjil Markus bermaksud memunculkan dua gambaran tumpang tindih bagi kejadian yang sama. Pembaca diajak melihat kejadian itu baik dari sisi orang kusta maupun dari sisi Yesus. Kisah ini bukan hanya kisah kesembuhan, melainkan juga kisah pewartaan Injil. Kedua-duanya perlu ditampilkan dalam pembicaraan mengenai perikopa ini.
Dikatakan, Yesus tinggal di “tempat-tempat terpencil”, dari kata Yunani “eremos” yang juga sering dialihbahasakan sebagai padang gurun yang memang terpencil. Kita boleh ingat akan peristiwa Yesus menghadapi kekuatan iblis yang menggodainya di padang gurun, di tempat terpencil. Tapi kekuatan ilahi tetap menyertainya.
Pada lain kesempatan, dikatakan pagi-pagi benar ia pergi berdoa di tempat terpencil. Dan orang-orang mencari dan mendatanginya, seperti disebutkan dalam warta Injil hari ini juga. Kisah ringkas ini menjadi ajakan untuk menemukan Yesus yang mengusahakan diri agar bersama dengan Yang Maha Kuasa. Di situ kekuatannya, di situ terjadi kesembuhan yang utuh.
Penginjil Markus menggambarkan perasasan Yesus yang kesal, mengalami frustrasi melihat adanya halangan-halangan yang memisahkan manusia dari sumber hidupnya sendiri.
Kita diajak penginjil untuk mulai bersimpati pada Yesus, menyelami perasaannya agar makin memahami kesungguhannya. Bukan supaya kita menirunya atau membenarkan diri kita bila kesal dan kecewa, melainkan untuk membantu agar kita dapat mengenal siapa Yesus ini. Bukan pula untuk mengutuk kaum imam yang kurang bersedia menjalankan yang digariskan hukum Musa.
Kita diajak menyadari akan adanya halangan-halangan yang membuat kebaikan terbelenggu. Di sini sebenarnya dinyatakan semakin besar kebutuhan mendengarkan warta Injil yang melegakan.
Tadi disebutkan bahwa sukar bagi orang kusta yang sembuh untuk menghadap imam di Bait Allah agar resmi dinyatakan sembuh dan dapat kembali ke dalam masyarakat. Tempat Yang Ilahi hadir secara nyata sekarang tidak lagi di Bait Allah, tapi di tempat Yesus berada. Dialah Bait Allah yang baru. Dia juga yang menyatakan orang jadi bersih kembali. Ia sendiri jugalah yang menjadi kurban bagi pulihnya orang kusta serta kaum terpinggir lainnya. Akhirnya ini semua menjadi warta yang melegakan yang disampaikan Injil hari ini!
Merenungkan apa yang dilakukan Yesus, rindukah kita akan belas kasih Tuhan seperti ini? Sebenarnya, Tuhanlah yang lebih dulu rindu menyembuhkan kita dari segala kelemahan dan dosa kita. Kita tak perlu berlama-lama menunggu agar Yesus datang melintasi tempat tinggal kita.
Setiap hari kita dapat menjumpai-Nya dalam Ekaristi Kudus, dalam tabernakel-Nya, dan dalam jiwa kita sendiri jika kita berada dalam keadaan rahmat. Dan secara khusus, Yesus hadir dalam sakramen Pengakuan Dosa. Di sanalah Ia akan menyembuhkan kita dari segala dosa kita, jika kita membiarkan rahmat-Nya menembus kedalaman jiwa kita.
Namun, untuk memperoleh kesembuhan itu, diperlukan kerendahan hati dari pihak kita, seperti yang dilakukan oleh orang kusta itu.
Kemunafikan dan kesombongan yang membuat kita menyembunyikan kesalahan, sesungguhnya merupakan penyakit terburuk bagi jiwa kita. Sebab sikap ini membuat kita tidak pernah sungguh bertobat. Namun,kejujuran terhadap diri sendiri dapat membantu kita melihat segala kelemahan kita.
Kerendahan hati untuk mengakui dosa-dosa kita adalah syarat utama agar jiwa kita dapat disembuhkan oleh Tuhan. Maka marilah kita mempersiapkan hati untuk memasuki Masa Prapaska yang telah menanti di ambang pintu. Dengan pertobatan sejati, marilah kita menghampiri sakramen Rekonsiliasi (Sakramen Tobat), untuk menjumpai Tuhan Yesus sendiri yang melalui para imam-Nya, akan mengampuni kita.***
DOA:
“Ya Tuhan Yesus, kalau Engkau mau —dan aku tahu Engkau selalu mau— Engkau dapat menyembuhkan aku. Inilah kelemahan dan dosa-dosaku… Engkau tahu aku telah mengalami pergumulan hidup yang membuat diriku merasa tak berdaya. Berbelas kasihanlah kepadaku, ya Tuhan, dan ampunilah aku. Biarlah aku mendengar perkataan-Mu yang kurindukan itu, “Aku mau. Jadilah engkau sembuh.” Dan jamahan-Mu itu tentu akan menyembuhkan dan memulihkan jiwaku. Amin.”
LEAVE A COMMENT