RENUNGAN MINGGU BIASA III

RENUNGAN MINGGU BIASA III

Menjadi Murid bagi Kristus

  • Minggu, 24 Januari 2021
  • Injil: Mrk 1:14-20
  • Oleh Romo Thomas Suratno SCJ

Tindakan kasih lebih berguna bagi orang yang melakukannya ketimbang yang menerimanya. Orang yang berbuat kasih menarik manfaat rohani dari perbuatannya. Sementara, orang yang menerima hanya mendapatkan manfaat sementara.

Simon dan Andreas, orang-orang biasa, begitu juga Yakobus dan Yohanes anak-anak lelaki dari Zebedeus. Semua sibuk dengan rutinitas – sampai suatu saat Yesus datang dan bertemu dengan mereka. Lalu, peristiwa yang luarbiasa terjadilah. Renungkanlah undangan luarbiasa dari Yesus kepada orang-orang ini: “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Mrk 1:17).

Luar biasa juga kiranya tanggapan mereka yang diundang oleh Yesus itu. Markus mencatat: “Lalu mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikut Dia” (Mrk 1:18).

Ada dua momen yang menentukan dalam hal ini – momen undangan dan momen pengambilan keputusan oleh mereka yang diundang. Yesus mengundang empat orang itu kemudian mereka meninggalkan perahu mereka, lalu mereka pun menjadi murid-murid Yesus. Untuk menanggapi undangan Yesus, dituntut iman dari orang yang diundang.

Para murid yang pertama tentunya telah melihat sesuatu tentang Yesus yang secara unik mendesak, sesuatu yang sepenuhnya dapat dipercaya, sehingga mereka pun berani mengambil risiko. Simon Petrus dan Andreas, Yakobus dan Yohanes memutuskan untuk mengikut Yesus tanpa sedikit pun rasa ragu, apalagi menetapkan syarat-syarat.
Kepercayaan mereka pada Yesus memampukan mereka untuk menjadi “dapat diajar” oleh Yesus. Iman mereka kepada-Nya memperkenankan Yesus mengubah dan membentuk hidup mereka.

https://www.youtube.com/watch?v=T2N5jKuM-nI

Kalau kita refleksikan dan renungkan lebih dalam, Injil hari ini mau menjabarkan salah satu ajaran yang indah tetapi tidak mudah untuk ditiru, setidaknya itu menurut saya sebagai imam walaupun sampai saat ini saya tetap menjadi seorang imam dalam Gereja Katolik.

Apakah itu? Yakni bahwa Tuhan Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama, dan kemudian mereka segera meninggalkan pekerjaan mereka dan mengikuti Dia (lih. Mrk 1:16-18). Artinya, para murid itu, rela meninggalkan apa yang tadinya mereka pandang berharga, untuk mengikuti Yesus.

Telah bertahun-tahun lamanya, saya pikir bahwa panggilan ini hanyalah dapat dipenuhi oleh mereka yang meninggalkan segala-galanya untuk mengikuti Yesus, seperti para imam, biarawan dan biarawati, walau pun dalam kenyataan di antara mereka atau di antara kami sebagai imam-biarawan banyak yang akhirnya meninggalkan jubahnya.

Memang harus diakui bahwa menjawab dan menanggapi panggilan Tuhan ini tidak gampang, dan harus diakui bahwa sulit meniru tanggapan dan kesediaan para murid pertama Yesus seperti yang tadi kita dengar dari warta Injil.
Para imam, biarawan-biarawati telah dengan sukarela meninggalkan keterikatan dengan dunia ini dengan mempersembahkan seluruh diri mereka kepada Tuhan. Kaul ketaatan, kemurnian dan kemiskinan yang mereka lakukan menjadi wujud nyata dari niat suci mereka untuk membaktikan diri bagi Kerajaan Allah, sangat membantu hidup dan karya mereka untuk “menjala manusia” dan membawa dunia ini kepada Tuhan.

Sungguh kita merasa kagum dan mengagumi kehidupan mereka. Walau pun harus jatuh bangun dalam melayani, mengajak dan membimbing umat awam biasa untuk mencari dan taat pada kehendak Tuhan dalam hidupnya, namun mereka tetap setia pada apa yang telah diikrarkannya di hadapan Tuhan.

Hidup demi kerajaan surga dan demi keselamatan keselamatan dunia. Pantaslah kalau kita mengapresisasi mereka dengan mendukung dan mendoakan kehidupan mereka serta senantiasa memohon semakin banyak orang-orang muda yang mau menjawab dan menanggapi panggilan Tuhan.

Para imam dan kaum religius yang menjalankan kehidupan panggilan mereka dengan sungguh-sungguh, tentulah dengan lebih penuh menanggapi undangan atau panggilan Yesus itu. Namun panggilan untuk hidup kudus ini, ditujukan kepada semua orang, – tidak hanya untuk mereka saja, – walaupun dengan cara yang berbeda-beda. Kita sebagai kaum awam, juga dipanggil untuk mengikuti Yesus dengan meninggalkan keterikatan kita terhadap hal-hal duniawi. Bukankah Yesus juga mengatakan hal yang sama kepada seorang muda yang kaya (lih. Mrk 3:21)?

Ingatlah bahwa Tuhan Yesus meminta kepada kita semua yang ingin mengikuti-Nya agar melepaskan diri dari keterikatan terhadap “ke-aku-an” dan segala sesuatu yang kita miliki, agar kita dapat mengarahkan hati kepada hal-hal yang kekal.
Jika kita melakukannya dengan benar, ini akan mempengaruhi cara pandang dan cara hidup kita sehari-hari. Kita akan berusaha untuk menjadi bijaksana dalam menggunakan segala yang ada pada kita sekarang ini —yaitu waktu, tenaga, bakat, harta milik, keinginan dst— untuk melakukan atau melaksanakan pesan Injil.

Nah, Konsili Vatikan II dalam dokumen Lumen Gentium, mengajarkan, “Maka semua orang beriman Kristiani diajak untuk berjuang mengejar kekudusan … mereka mempunyai kewajiban untuk berjuang dengan keras. Oleh karena itu hendaklah semua memperhatikan, agar mereka mengarahkan keinginan- keinginan hati dengan tepat, supaya mereka dalam mengejar cinta kasih yang sempurna jangan dirintangi karena penggunaan hal-hal duniawi dan keterikatan kepada kekayaan yang melawan semangat kemiskinan menurut Injil. Itulah maksud nasehat Rasul kepada mereka yang menggunakan barang-barang duniawi ini: janganlah mereka menerima pengertian dunia, sebab dunia ini sebagaimana yang kita lihat, sedang/akan berlalu (lih. 1Kor 7:31)” (Lumen Gentium 42).

Lalu, bagaimana kita melatih diri untuk menjadi tidak terikat dengan dunia ini?

Kiranya ada banyak cara, tetapi marilah kita memulainya dari cara yang paling mudah dan yang sebenarnya sudah menjadi tradisi dalam kehidupan Gereja. Yaitu, dengan menjadikan setiap hari Jumat sebagai hari Tobat, misalnya.
Mengapa? Karena Gereja telah sejak lama menjadikan setiap hari Jumat sepanjang tahun untuk menjadi hari di mana kita mengenangkan sengsara dan wafat Kristus demi menyelamatkan kita, dan kita diundang untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan- Nya itu, dengan melakukan matiraga dan amal kasih secara khusus pada hari itu. Kebiasaan yang paling umum adalah melakukan pantang daging, namun sesungguhnya juga bisa pantang yang lain yang kita sukai (lih. KHK, kan.1251), seperti kopi, sambal, cemilan, dst.

Kalau saya melihat kepada kehidupan sekitar umat Katolik di tanah air, dan sejujurnya kita akan tahu, betapa banyak dari kita yang mengabaikan ketentuan ini, entah karena tidak tahu ataupun sengaja melupakan. Padahal kebiasaan pantang ini, walaupun sederhana, namun sangat berguna untuk pertumbuhan rohani kita. Sebab, bagaimana mungkin kita berharap mempunyai jiwa seorang martir yang rela berkorban, jikalau untuk berkorban sedikit saja, kita enggan melakukannya?
Ada yang mengatakan, “Ah, saya sudah biasa tak makan daging, jadi hari Jumat tak perlu pantang daging…” atau berbagai alasan lain. Tetapi mari kita dengan jujur memeriksa, jika memang kita dapat melakukannya, sudahkah kita mencoba untuk melakukannya? Dan kalau sudah, sudahkah kita melakukannya dengan lebih bersungguh-sungguh sesuai dengan maksudnya, yaitu sebagai tanda pertobatan kita, silih dan demi mengarahkan hati kita kepada hal-hal yang tidak akan berlalu?

Sadarilah bahwa pantang setiap hari Jumat sepanjang tahun akan membantu kita semakin menghayati besarnya pengorbanan Kristus bagi kita, dan untuk mendorong kita senantiasa bertobat dan bertumbuh dalam amal kasih. Ini adalah bentuk yang paling sederhana dari “meninggalkan segala sesuatu” untuk mengikuti Kristus. Dari apa yang kita hemat dari pantang itu, kita berikan kepada saudara/i kita yang lebih membutuhkan.

Amal yang lahir dari belas kasih, menurut St. Thomas Aquinas, “lebih berguna bagi orang yang melakukannya daripada bagi orang yang menerimanya. Sebab orang yang melakukan amal kasih menarik manfaat rohani dari perbuatannya, sedangkan mereka yang menerima amal orang itu, menerima hanya manfaat sementara”.
Marilah kita mengikuti jejak para murid Yesus itu, untuk mengejar apa yang dapat memberi manfaat yang kekal, bukan hanya pada apa yang memberi manfaat sementara.***

DOA:
Ya Tuhan Allah, terima kasih bahwa Engkau telah manggil kami untuk mengikuti jejak-Mu dan menjadi penjala-penjala manusia supaya mereka semua dapat menikmati anugerah keselamatan-Mu. Mampukanlah kami untuk melaksanakan apa yang Kaukehendaki kami perbuat sehingga nama-Mu dapat kami muliakan dalam setiap kata maupun perbautan kami. Terpujilah Engkau kini dan sepanjang segala masa. Amin.

LEAVE A COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *