RENUNGAN MINGGU BIASA XXXIII
Menjadi Hamba yang Terberkati
- Minggu, 15 November 2020
- Injil Mat 25:14-30
- Oleh Romo Thomas Suratno SCJ
Allah memberikan hidup ini bukan agar kita bisa menyelamatkan diri sendiri. Ia memberi kita hidup ini dengan suatu kepercayaan bahwa kita akan melayani Dia melalui hidup yang kita jalani.
“Hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka. Yang seorang diberikannya lima talenta, yang seorang lagi dua dan yang seorang lain lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya, lalu ia berangkat,” (Mat 25:14-15).
Dalam bahasa Yunani, kata hamba ini memakai kata doulos, yang berarti budak. Dalam konteksnya, seorang budak selalu merupakan milik sepenuhnya dari sang majikan. Maka,mereka, para budak, akan melaya
ni tuannya sepenuhnya.
Di dalam perumpamaan ini, sang majikan yang pergi jauh dan kemudian kembali lagi adalah Yesus, yang pergi ke sisi Bapa-Nya, dan akan datang lagi kepada kita. Ini adalah poin utama dari perumpamaan ini. Artinya,bahwa perumpamaan ini bicara tentang akhir zaman,di mana Tuhan Yesus akan datang kembali setelah pergi kepada Bapa-Nya di surga. Atau kedatangan Yesus untuk yang kedua kali.
https://www.youtube.com/watch?v=4bwnPEOmMvw
Fakta nyata, kita semua karena baptisan menjadi anak-anak Tuhan dan namun sekaligus juga menjadi hamba-Nya. Dalam keseharian kita, kita sering hanya menekankan pada kedudukan kita sebagai anak-anak Tuhan dan bangga akan hal itu. Tidak salah tetapi sering bahkan mengabaikan tanggungjawab kita yang sebagai seorang hamba atau hamba-hamba Tuhan.
Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma (Rm 14:7-9), di mana ia memberitahu kita apa artinya menjadi seorang Kristen. Ia tidak sedang membicarakan sekelompok kecil pekerja Kristen khusus melainkan tentang orang-orang Kristen secara umum dan hubungan mereka di dalam gereja.
Pada intinya, ia berbicara seperti ini, “Tak seorangpun dari kita yang hidup demi dirinya sendiri, dan mati demi dirinya sendiri. Jika kita hidup, maka hidup kita adalah demi Tuhan, dan jika kita mati, maka kita mati demi Tuhan. Jadi, dalam kehidupan maupun kematian, semua itu demi Tuhan. Karena untuk tujuan inilah Kristus mati dan bangkit kembali, supaya Dia menjadi Tuan bagi yang hidup dan yang mati.”
Apakah Yesus menjadi Tuan ke atas hidup Anda? Jika benar, maka Anda akan menjalani hidup demi Dia, bukan demi Anda lagi. Saudara hanya bertanggungjawab kepada-Nya dan seluruh hidup Anda dijalani dalam kebersamaan dengan-Nya sebagai tujuan hidup itu sendiri. Jika Anda mengaku sebagai seorang Kristen sejati, jemaat Kristiani dapatkah Anda dengan setulus hati mengatakan bahwa itulah tujuan hidup Anda, bahwa Anda hidup bagi Dia, Yesus? Seperti inilah panggilan hidup kita sebagai umat kristiani, yakni sebagai seorang hamba!
Dalam perumpamaan tadi, kita melihat bahwa setiap orang, umat kristiani sebagai keluarga Allah memiliki kesamaan ikatan dalam arti setiap orang mendapatkan tanggungjawab dari Allah sendiri. Yang satu dipercayakan lima talenta, satunya lagi dua talenta, lalu yang ketiga satu talenta. Yang jelas bahwa setiap orang menerima tanggungjawab masing-masing.
Kata ‘talenta’ di dalam perumpamaan ini tidak ada kaitan sama sekali dengan bakat kita sebenarnya. Talenta hanya sekadar atau merupakan satuan ukur atas jumlah uang. Kata ‘talenta’ memang pada awalnya memiliki makna jumlah timbangan perak atau emas. Di dalam Perjanjian Lama Anda dapat menemukan istilah-istilah seperti satu talenta emas, perak atau kuningan. Tidak ada kaitannya dengan istilah dalam bahasa Inggris ‘talent’ (yang diartikan sebagai bakat), yang memiliki makna ‘kemampuan’ atau ‘kemampuan alami’. Kata ‘talenta’ dalam perumpamaan ini hanya menunjukkan jumlah uang. Dan satu talenta merupakan jumlah uang yang sangat banyak di zaman itu.
Bahkan ada yang dipercaya untuk mengelola lima talenta. Dalam hitungan zaman sekarang, itu bisa berarti jutaan dolar.
Akan tetapi kita juga melihat bahwa setiap orang menerima jumlah yang berbeda-beda untuk dikelola. Yang pertama menerima lima talenta, yang kedua menerima dua talenta, dan ada yang menerima satu talenta. Apa yang menjadi penentunya?
Perumpamaan ini menjelaskan kepada kita bahwa jumlah itu disesuaikan dengan kesanggupan masing-masing hamba itu. Tuhan memberi lima talenta kepada yang satu, lalu ada dua talenta kepada yang satunya lagi, dan satu untuk yang terakhir, semua sesuai dengan kemampuan masing-masing. Di dalam Perjanjian Baru, kata ‘kesanggupan’ tidak pernah boleh diartikan berdasarkan bakat alamiah seseorang.
Allah tidak mempercayakan lebih kepada seseorang hanya karena orang itu memiliki bakat yang lebih dari yang lain. Bakat seseorang tidak selalu menjadi hal yang berguna dalam menjalankan pekerjaan Allah. Malahan bisa menjadi penghambat jika bakat tersebut menumbuhkan kesombongan pada diri orang itu.
Orang yang memiliki kelebihan dalam hal kemampuan, biasanya, akan sangat menyadari kelebihannya. Mereka tahu akan kelebihan mereka karena ada banyak kesempatan untuk membandingkannya dengan kemampuan orang lain, dan hal ini membuat mereka sangat sadar akan kelebihan mereka. Tak peduli seberapa kuatnya mereka berusaha untuk rendah hati, tetap sangat sulit karena mereka tahu persis bahwa mereka lebih unggul dari yang lain.
Pengalaman iman Santo Paulus menarik untuk direnungkan. Dia adalah orang yang sangat cakap. Cukup dengan membaca surat-suratnya, kita akan segera tahu betapa pandai dan betapa berbakatnya dia – baik dalam hal manajemen maupun dalam hal kemampuannya memahami Alkitab dan perkara-perkara rohani. Namun justru karena keunggulannya itu, maka Allah menanamkan duri di dalam dagingnya, ia terlalu cerdas dan cakap. Demikianlah, Allah harus menanamkan duri di dalam dagingnya (2Kor 12:7).
Paulus memahami bahwa itu untuk membuatnya tetap rendah hati. Akan tetapi hal itu juga membuatnya sangat merasa sakit dan lemah. Lalu ia memohon kepada Allah agar ‘duri’ itu disingkirkan dari dirinya, namun duri itu tetap ada. Tuhan berkata, “Duri itu akan terus ada di sana.” Dan Paulus berkata, “Aku tahu. Hal ini karena aku sangat sombong dan aku harus tetap rendah hati. Itu sebabnya, mulai saat ini, aku akan bersukacita di dalam kelemahanku supaya kuasa Allah terwujud di dalam hidupku.”
Demikianlah, kita bisa melihat bahwa ketika bakat dan kepandaian Paulus mulai menjadi penghalang maka Allah terpaksa menanamkan ‘duri’ di dalam dagingya. Beberapa orang dari antara kita ada yang harus mengalami hal ini karena keunggulan alaminya mulai menyuburkan kesombongannya, dan mulai mengganggu cara dia melayani Allah.
Kalau kita bisa memahami poin ini, maka kita bisa mengerti bahwa Tuhan membagikan talenta-talenta kepada para hamba-Nya tidak didasari oleh kemampuan jasmani dan duniawi dari orang tersebut. Kata yang diterjemahkan dengan ‘kesanggupan’ itu, di dalam bahasa Yunaninya sebenarnya bermakna ‘kekuatan atau kuasa’. Setiap orang mendapat talentanya berdasarkan kuasa dan kemampuan rohaninya. Ide kunci di sini adalah kemampuan rohani. Kita mempercayakan tanggungjawab kepada seseorang berdasarkan kemampuannya. Kita tidak akan mempercayakan kuasa kepada orang yang kita pandang tidak akan mampu mengelola kuasa itu.
Marilah kita cermati kata ‘nya’ di dalam anak kalimat ‘menurut kesanggupannya’. Di dalam hal ini, kata ‘nya’ tidak menunjukkan bahwa kita sudah memiliki kemampuan atau kuasa dari dalam diri masing-masing, atau kita tidak dilahirkan dengan kuasa atau kemampuan yang berbeda-beda. Di dalam Lukas 1:17, malaikat Tuhan berbicara tentang “roh dan kuasa Elia”. Kata ‘kuasa’ di dalam anak kalimat tersebut berasal dari kata Yunani yang sama dengan yang diterjemahkan dengan kata ‘kesanggupan’ di dalam perumpamaan ini.
Mungkin Anda akan bertanya, “Apa itu kuasa Elia? Apakah Elia memang memiliki kuasa yang berasal dari dalam dirinya sendiri?” Tidak! Kuasa Elia berarti kuasa Allah yang bertindak melalui Elia. Pada dasarnya itu adalah kuasa Allah dan kuasa itu bekerja lewat Elia, jadi boleh disebut sebagai kuasa Elia walau pun tidak begitu tepat. Ingatlah, bahwa kuasa itu diberikan kepada Elia maka dalam pengertian tertentu kuasa itu sesungguhnya miliknya.
Jumlah talenta yang diberikan kepada seseorang bukanlah sesuatu hal yang sudah ditentukan atau ditakdirkan. Tidak bisa diartikan bahwa Allah sudah menetapkan bahwa seseorang akan menerima lima talenta, dan yang lain ditakdirkan menerima dua talenta. Atau bahkan satu talenta.
Hal yang seperti itu sangat tidak biblis. Malahan dalam Kitab Suci dikatakan bahwa setiap orang bisa maju sampai ke tingkatan Elia dan memiliki kuasa yang sama dengan yang bekerja di dalam diri Elia. Apa yang menjadi penentunya? Iman akan Allahlah yang memberi kuat-kuasa-Nya supaya kerohanian kita tumbuh berkembang. Kemudian, akhirnya, tergantung keterbukaan hati kita akan karya Allah dalam Roh-Nya.
Jika Allah telah mempercayakan sesuatu kepada Anda, satu talenta, apa yang akan Anda kerjakan dengan itu? Di hari Penghakiman nanti, apakah Anda akan berkata, “Yesus, aku berterima kasih kepada-Mu yang telah memberi hidup yang dari Engkau ini. Inilah hidup yang telah Kau berikan kepadaku – hidup itu masih utuh. Lihatlah, ini dia. Aku telah menyimpannya selama ini untuk-Mu.”
Saudara akan berada dalam masalah jika itu saja yang telah Anda lakukan. Setiap orang yang mengira bahwa dirinya akan selamat hanya karena telah menerima anugerah hidup yang kekal itu dan mengira bahwa hidup itu boleh dia simpan untuk dirinya sendiri, akan menghadapi kejutan besar. Jelaslah dia tidak mengerti sama sekali pesan dari Yesus.
Allah memberikan hidup ini bukan agar kita bisa menyelamatkan diri sendiri. Ia memberi kita hidup ini dengan kepercayaan bahwa kita akan melayani Dia dengan hidup itu. Kita bertanggungjawab kepada-Nya atas apa yang kita perbuat dengan hidup itu. Kita harus melakukan sesuatu dengan kehidupan yang telah diberikan itu karena hidup itu diberikan bukan untuk sekadar disimpan.
Hidup harus dijalani dalam usaha dan karya. Jangan sampai nantinya Tuhan Yesus berkata, “Menjauhlah dari-Ku, kamu hamba yang tidak berguna!” Dan Saudara berkata, “Tuhan, mengapa Engkau marah kepadaku? Sabar dulu. Aku tahu Engkau adalah orang yang keras, jadi aku menyimpan hidup ini baik-baik. Aku takut hal ini akan terjadi, maka aku menyimpannya dengan aman, ini dia kukembalikan kepada-Mu.”
Jika Allah telah memberi kita hidup yang kekal, kita harus menjadi saluran hidup yang kekal itu dan membagikannya kepada orang lain. Kita harus hidup untuk orang lain dan untuk Dia.
Kalau tidak demikian, maka akan terjadi seperti yang Tuhan Yesus katakan, “campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.”
Di sini menyesal tak berguna! Maka marilah kita mulai saat ini sungguh mau menjalani hidup yang berasal dari Allah ini menjadi berbuah dan berguna yang dapat menuntun sesama pada keselamatan. Atau dengan kata lain hidup kita hendaknya menjadi berkat bagi sesama kita.
DOA:
“Ya Tuhan, berilah aku semangat terus-menerus supaya aku dapat bekerja melayani sesama dalam setiap kata dan perbuatanku. Aku percaya dengan daya kuat kuasa-Mu, aku dimampukan oleh-Mu untuk melaksanakan apa yang Kaukehendaki. Amin.”
LEAVE A COMMENT