RENUNGAN MINGGU BIASA XXVI
Berlutut dan Berserah
- Minggu, 27 September 2020
- Injil Mat 21:28-32
- Oleh Romo Thomas Suratno SCJ
Secara duniawi, bisa jadi kita merupakan orang hebat dan tanpa cacat. Namun, di hadapan Tuhan, kita tetaplah orang berdosa. Itulah sebabnya, seorang yang dekat dengan Tuhan selalu memiliki kerendahan hati sebagai sikap utamanya.
Perumpamaan sederhana mengenai kedua bersaudara yang sarat makna ini. Sang Bapa berkata, “Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur!”
Kata-kata ini tidak berisi sebuah perintah keras, bukan paksaan, bukan tekanan, melainkan tawaran yang diungkapkan dengan halus dan lembut. Sapaan yang penuh kasih sayang sangat terasa. Isi permintaannya sendiri sebenarnya bukanlah sebuah tuntutan yang amat berat. Sang Bapa meminta anaknya bekerja di kebun karena ia mau menawarkan kesempatan bagi mereka.
Reaksi yang muncul sungguh tak terduga! Anak yang pertama dengan lantang langsung mengiyakan permintaan Bapanya, “TAAT”, tetapi ternyata ia tidak mampu memenuhi kata-katanya sendiri.
Anak yang kedua juga langsung menyatakan ketidaksetujuannya, ia menolak, “TIDAK TAAT” tetapi kemudian ia menyesal, akhirnya ia memenuhi permintaan Bapanya.
https://www.youtube.com/watch?v=mVjtUZBpRuA
Dengan perumpamaan ini, sesuai dengan konteksnya, para lawan Yesus, orang-orang Farisi dan para ahli Taurat merasa mendapat pukulan telak. Dasar teguran itu ialah prinsip yang mereka pakai mengadili orang lain, yakni ketaatan atau ketidaktaatan religius.
Sikap Yesus sungguh lain dengan para pemimpin tadi, Yesus tidak menyembunyikan pendapatnya mengenai Yohanes Pembaptis. Yesus berkata bahwa Yohanes “datang untuk menunjukkan jalan kebenaran”. Dan diakui oleh-Nya penugasan itu datangnya dari Allah sendiri. Namun, para pemimpin Yahudi tidak menanggapinya dengan semestinya, malah tidak berani mengakuinya karena takut.
Maka mereka bersikap seperti anak yang berkata “Ya ya!” kelihatannya taat tapi tidak melakukan yang diharapkan.
Justru orang-orang yang mereka anggap rendah sehingga tidak layak diselamatkan, yakni para pemungut cukai dan pelacur, sebaliknya seperti anak kedua yang pada mulanya dengan tegas menolak permintaan Sang Bapa tapi kemudian akhirnya sampai pada satu kesadaran: menyesal dan menurut permintaan Sang Bapa.
Mereka kelihatannya tidak taat justru mereka adalah orang-orang taat, melalui penyesalan akhirnya melakukan apa yang diminta oleh Allah Bapa.
Tanpa kita sadari mungkin pengalaman anak pertama itu juga pernah menjadi bagian dalam praktik hidup keseharian kita. Kita sering terjebak dalam situasi di mana kita tidak mau kehilangan sahabat, kehilangan muka, kehilangan kesempatan, sehingga kita dengan begitu mudahnya mengiyakan sesuatu yang tidak bisa kita penuhi. Menjadi lebih menyakitkan lagi jika kita melakukannya tanpa penyesalan.
Maka, dalam warta hari ini, sebenarnya mau mengajar kepada kita bahwa di dalam Tuhan Yesus Kristus, tidak ada jalan seburuk apapun yang tidak bisa kembali kepada kebenaran. Jalan itu ialah jalan pertobatan, membangun sikap pertobatan yang tulus dan jujur.
Warta Injil hari ini merupakan sebuah permenungan yang sangat dalam terutama bagi yang mengatakan diri bahwa kehidupannya dekat dengan Tuhan. Atau bagi mereka yang mungkin setiap hari berada di sekitar Gereja, diingatkan bahwa itu bukanlah sebuah jaminan yang mutlak.
Pertanyaanya adalah dalam kehidupan sehari-hari saya berlaku seperti anak yang pertama atau anak yang kedua?
Di samping itu, warta Injil hari ini mengingatkan kita akan pentingnya ketaatan dalam setiap pekerjaan kita. Kristus adalah teladan utama bagi kita dalam ketaatan. Ia, dalam kemanusiaan-Nya (ratione humanae naturae), telah “taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:8).
Di dalam Kitab Suci, kita bisa menemukan banyak sekali orang-orang yang memberikan kita contoh melalui ketaatan mereka kepada kehendak Tuhan. Salah satu teladan utama bagi kita dalam ketaatan, selain Yesus sendiri dan Bunda Maria, adalah Santo Yusuf.
Santo Thomas Aquinas mengajarkan bahwa, oleh karena manusia jatuh dalam dosa akibat ketidaktaatan (lih. Kej3:1-6), permulaan keselamatan kita ditandai oleh ketaatan Santo Yusuf, yang memiliki empat ciri khas: teratur (ordered), cepat (prompt), sempurna (perfect), dan teliti (discrete).
Ketaatan kita harus teratur. Agar kita bisa taat kepada kehendak Allah yang diungkapkan melalui sesama kita (baik orang tua, guru, atau teman yang kita percayai), kita harus terlebih dahulu meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk (vices), seperti kemalasan dan kesombongan.
Ketaatan kita harus cepat, seperti yang disampaikan kepada kita oleh Kitab Yesus bin Sirakh: “Jangan menunda-nunda berbalik kepada Tuhan, jangan kautangguhkan dari hari ke hari” (Sir 5:7). Kita diundang untuk tidak menunda pekerjaan kita sampai besok, karena seringkali ‘besok’ adalah kata keterangan bagi para pecundang.
Ketaatan kita harus sempurna. Ini berarti kita patut melaksanakan apa yang diperintahkan (what) dengan sarana tertentu (how), sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (what for). Dengan kata lain, kita diajak untuk taat termasuk dalam hal-hal yang kecil — “engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar” (Mat 25:21) — dan menyelesaikan pekerjaan kita dengan baik — “siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?” (Luk 14:28).
Ketaatan kita, akhirnya, harus teliti (discrete). Kita perlu memastikan bahwa kita mentaati Allah — bukan Iblis — dan orang-orang yang ditempatkan Allah disekeliling kita untuk membimbing kita.
Percayalah bahwa bagi mereka yang berdosa seberat apapun tetap mempunyai jalan terbuka untuk kembali kepada Tuhan, apalagi bagi mereka yang hidupnya lebih baik.
Keterbukaan hati dan kemauan untuk senantiasa membangun sikap pertobatan itulah yang menjadi ukuran hidup dalam Tuhan. Maka dari itu, akhirnya untuk bisa taat kita perlu penyesalan dan pertobatan.
Bisa jadi secara duniawi kita adalah orang-orang hebat, tanpa cacat, namun di hadapan Tuhan kita tetaplah orang berdosa. Sehingga kerendahan hati merupakan sikap utama yang harus kita miliki. Seseorang dapat dikatakan dekat dengan Tuhan bila mempunyai sikap kerendahan hati dalam hidupnya.
Seorang teolog besar, Karl Rahner mengatakan bahwa sepintar apapun seorang teolog, pada akhirnya ia harus tetap berani berlutut di hadapan Tuhan tanpa mengatakan apapun, karena pengetahuannya tidak pernah cukup untuk mengerti Tuhan. Di hadapan yang Kuasa, seorang beriman hanya bisa berlutut dan berserah.
DOA:
Ya Tuhan, sabda-Mu hari ini begitu menusuk hati kami. Engkau mengingatkan kami akan kesombongan dan keangkuhanku. Ajarilah kami untuk mampu senantiasa membangun sikap pertobatan yang tulus, berani dengan rendah hati mengakui kesalahan dan kelalaian kami, serta tidak menganggap rendah orang lain. Sehingga tidak bisa tidak kami harus selalu taat akan perintah-perintah-Mu, melakukan apa yang Kaukehendaki dan bukan apa yang kami ingini. Amin.
LEAVE A COMMENT