RENUNGAN MINGGU BIASA XXIII

RENUNGAN MINGGU BIASA XXIII

Menegur dalam Semangat Belas Kasih

 

  • Minggu, 6 September 2020
  • Injil: Mat 18:15-20
  • Oleh Romo Thomas Suratno SCJ

Kita menegur orang bukan pertama-tama untuk menghukumnya. Dengan teguran itu kita mau supaya ia kembali kepada Tuhan, kembali dalam persekutuan umat, yakni dalam Gereja. Inilah sikap belas kasih dalam relasi dengan sesama, terutama saudara kita yang bersalah.

 

Saudara-saudari yang terkasih, warta Injil hari ini, Mat 18:15-20 adalah sebuah pengajaran tentang prosedur untuk menghadapi orang yang bersalah.

Tidak dapat disangkal bahwa hal menegur sesama kita adalah pekerjaan yang sulit. Ada banyak orang yang tidak mau menerima teguran, dan ada banyak teguran diberi dengan cara yang tidak bijaksana, misalnya langsung di muka umum atau dalam kepanasan hati dan dengan kata-kata yang terlalu kasar.

Dari warta Injil hari ini, teguran harus dimulai di bawah empat mata, supaya jangan sampai teguran itu terlalu mempermalukan. Apalagi, bila kita menegur seseorang, janganlah niat kita untuk “memukul” saja; niat yang wajar ialah mendapatkan kembali saudara kita ‘laksana seekor domba yang sesat’.

Dengan demikian kiranya teguran yang kita ucapkan kepada saudara kita yang berbuat salah dapat menjadi pertolongan baginya.

Saudara-saudari yang terkasih, kalau kita cermati perikopa Injil hari ini, Bagian pertama (Mat 18:15-17) mengajarkan kepada kita: Sikap Rekonsiliasi Terhadap Pendosa. Biasanya dalam ajaran Yesus, Perjanjian Lamalah yang merupakan titik tolaknya; dan sudah hampir di sini bahwa titik tolak terletak dalam Kitab Imamat 19:17 yang berbunyi: “Janganlah membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegur orang sesamamu.”

Untuk itu, Tuhan Yesus secara khusus berbicara mengenai sikap terhadap saudara (anggota jemaat) yang berdosa dengan prosedur tahapan yang harus diambil sbb. : [1. Pembicaraan pribadi, kemudian 2. Pembicaraan di depan saksi, dan akhirnya 3. Pembicaraan di depan Jemaat].

Saudara-saudari yang terkasih, tanggung jawab yang pertama ialah pergi secara pribadi kepada orang yang bersalah, tanpa menunggu permintaan maaf. Jika hal itu tidak berhasil, sekalipun sudah diperingatkan melalui pembicaraan pribadi, kesalahan akan tetap terjadi.

Maka perlu masuk pada tahap yang ke-2. Prosedur semacam ini membuatnya lebih mudah untuk meruperoleh suatu pengakuan bersalah. Pada langkah yang kedua ini harus ada beberapa orang saksi pada saat wawancara (lih.Ulangan 19:17). Keikut-sertaan dua atau tiga orang lain dalam teguran, dengan 2 alasan:

1) Teguran yang diberi oleh tiga orang adalah lebih kuat daripada teguran yang diucapkan satu orang saja.

2) Dengan dua orang tambahan itu pembicaraan akan menjadi lebih matang dan lengkap.  Apabila berhasil, dia akan memperoleh orang itu sebagai sahabatnya dan memulihkan hubungan orang tersebut dengan Tuhan dan dengan sesama orang beriman. Hal tersebut bertujuan untuk mengajak saudara kita yang berdosa kembali ke dalam jemaat.

Namun, saudara-saudari yang terkasih, apabila tahap ke-2 masih saja tidak berhasil, masuk kepada tahap yang ke-3. Prosedur ini dirumuskan untuk menunjukkan bagaimana pihak yang dirugikan harus menanggapinya. Tahap ke-3 sering kali melahirkan langkah yang drastis yaitu ‘pengucilan’. Dari pengucilan ini barangkali dimaksudkan untuk membuat kejutan bagi yang berdosa supaya mengadakan rekonsiliasi.

Proses yang sama ditempuh oleh jemaat di Israel pada masa lalu berdasarkan Ulangan 19:15. Penyebutan anggota yang dikucilkan sebagai orang kafir atau pemungut cukai (ayat 17) ini meski agak aneh mengingat sikap Yesus yang terbuka terhadap kedua kelompok tersebut. Namun kita dapat menarik maksud istilah tersebut, bahwa istilah ini melukiskan orang yang dikucilkan dari arus kehidupan religius Yahudi.

Saudara-saudari yang terkasih, Bagian kedua (Mat 18:18-20): Mengikat dan Melepaskan. Mat 18:18: “Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga”.

Orang Yahudi memakai istilah “mengikat” untuk hal mengucilkan seseorang dari jemaat Tuhan, dan istilah “melepaskan” dipergunakan untuk hal melepaskan seseorang untuk masuk ke tahap pengucilan. Apa yang dimaksudkan atau pengertiannya?

Orang yang “terikat” pada kesalahannya maka ia akan “terlepas” dari komunitas gerejawi. Melalui ayat 18 ini Tuhan Yesus memberikan suatu wewenang “disiplin gerejawi” bukan hanya tindakan dari anggota-anggota jemaat terhadap seorang anggota jemaat, melainkan dapat dikatakan atau diartikan sama dengan tindakan Allah sendiri.

Sehingga jika jemaat menegur seorang supaya dia bertobat dan meninggalkan dosanya, maka melalui teguran itu Tuhan sendirilah yang mencari dan memanggil orang itu, dan jika ia tetap menolak panggilan Tuhan itu, maka Tuhan menolak orang itu. Sebaliknya, jika jemaat menyambut seorang anggota yang menyesal, maka Tuhan sendiri juga menyambut orang itu.

Saudara-saudari yang terkasih, kiranya melalui warta Injil hari ini menjadi jelas bagi kita semua, bagaimana seharusnya sikap kita sebagai orang beriman terhadap saudara kita yang berbuat salah.

Kita berkewajiban menegur dia namun bukan pertama-tama untuk menghukum melainkan dengan teguran itu kita mau supaya dia kembali kepada Tuhan, kembali dalam persekutuan umat, yakni dalam Gereja.

Inilah salah satu sikap belas kasih ilahi yang harus kita wujudkan dalam relasi atau hubungan dengan sesama kita terutama saudara kita yang bersalah.***

 

LEAVE A COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *