RENUNGAN MINGGU XIX

RENUNGAN MINGGU XIX

Fokuskan Hidup pada Kasih Tuhan

  • Minggu, 09 Agustus 2020
  • Injil Mat 14:22-33
  • Oleh Romo Thomas Suratno SCJ

Hanya ketenangan di dalam Tuhanlah yang dapat meredakan ketakutan kita. 

 

Saudara-saudari yang terkasih, kehidupan rohani yang terbangun dari kehidupan doa dan sakramen menjadi sangat penting, karena begitu banyak gelombang permasalahan dan derita yang menimpa kehidupan kita.

Tanpa kehidupan doa yang baik, maka perahu kehidupan kita juga akan goncang. Tanpa kehidupan doa yang baik, maka perahu karya kerasulan kita juga akan tergoncang. Bahkan, kalau perahu adalah lambang Gereja tanpa kehidupan doa yang baik dari anggota Gerejanya, maka Gereja juga akan terombang-ambing karena angin pencobaan,  tergoncang badai kehidupan.

Dan inilah yang terjadi ketika terjadi masa-masa sulit dalam sejarah Gereja. Namun percayalah, Tuhan yang telah berjanji untuk melindungi Gereja-Nya sampai akhir zaman (lih.Mat 28:19-20), tidak pernah meninggalkan Gereja Katolik, sehingga pada saat-saat yang sulit, Tuhan mengirimkan santo-santa, orang-orang kudus-Nya yang turut membangun Gereja dari dalam.

Cara Tuhan untuk menyelamatkan seseorang dalam kesulitan atau Gereja yang dalam krisis sering dengan cara yang tidak disangka-sangka dan mengejutkan.

 

Nah, dalam warta Injil hari ini dikisahkan bahwa Yesus datang kepada para murid yang sedang panik karena terjangan badai, pada waktu dan cara yang tidak tidak umum. Yesus datang pada jam tiga malam dengan cara berjalan di atas air.

Bayangkan bahwa para murid mungkin berjuang semalam suntuk di kapal dari terjangan ombak dan badai. Mungkin mereka menyadari bahwa guru mereka tidak sedang bersama mereka, sehingga mereka tidak meminta tolong kepada-Nya (lih.Luk 8:22-25).

Tetapi, pada saat gawat seperti ini dan pada waktu yang sungguh sulit dan tak terduga, mereka melihat sosok yang berjalan di atas air, sehingga mereka mengira bahwa itu adalah hantu (ay.26).

Namun, kemudian Yesus berkata kepada mereka, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (ay.27).Ini berarti dalam menghadapi masalah kehidupan, masalah kesehatan, dan juga masalah-masalah yang harus dihadapi dalam menjalankan karya-karya kerasulan, seseorang harus terus bersandar kepada Yesus, sehingga Yesus dapat terus memberikan kekuatan kepadanya.

Mendengar perkataan Yesus serta mengenali sosok dan suara Yesus, para murid mendapatkan ketenangan. Namun, bagi orang yang sungguh mengasihi, ketenangan saja rupanya tidaklah cukup.

Orang yang mengasihi senantiasa ingin bersatu dengan orang yang dikasihinya. Petrus, yang mengasihi Yesus mengatakan, “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air,” (ay.28).

Di sini terungkap bahwa Petrus dipenuhi dengan kasih dan iman akan Kristus. Kasihnya membuat Petrus ingin cepat bersama dengan Yesus yang saat itu masih berjalan di atas air dan imannya membuat Petrus percaya bahwa Yesuslah yang berjalan di atas air itu, serta percaya bahwa Yesus dapat memberikan kekuatan yang sama kepada orang lain.

Melihat kedalaman hati Petrus, maka Yesus menjawab “Datanglah!” Dan dengan mata yang terus tertuju kepada Yesus, Petrus turun dari perahu, menapakkan kakinya dan kemudian berjalan di atas air mendapatkan Yesus.

Imanlah yang membuat seseorang berani untuk meninggalkan apa yang dia punyai, melepaskan apa yang dia pegang, meninggalkan daerah nyamannya, dan kemudian melangkah ke sesuatu yang mungkin lebih sulit, lebih tidak nyaman, namun mata hatinya terus tertuju kepada Yesus.

Petrus, yang dengan berani menapakkan kakinya ke luar perahu, untuk berjalan di atas air, karena Yesus, yang adalah Sang Sabda, telah berkata kepadanya, “Datanglah!”

Dengan demikian, selama seseorang memusatkan perhatian pada Sabda atau Kristus, maka dia akan dapat mengarungi badai kehidupan. Tetapi ketika Petrus tidak lagi fokus pada Yesus, namun pada apa yang terjadi di sekitarnya, yakni pada tiupan angin, maka hatinya dipenuhi dengan kebimbangan dan ketakutan.

Petrus mengalami hal itu, kehilangan dasar (iman) dan tujuan (harapan), membuat dirinya ketakutan dan kemudian mulai tenggelam.

Saudara-saudari yang terkasih, lawan dari ketakutan adalah keberanian (audacity), yaitu sikap berani untuk menghadapi tantangan atau ancaman. Keberanian dalam menghadapi tantangan kehidupan bukanlah bersumber pada diri kita, namun pada Kristus sendiri.

Inilah sebabnya, ketika kita takut, maka kita perlu membangkitkan kembali sumber kekuatan kita, yaitu Kristus sendiri. Inilah yang dilakukan oleh rasul Petrus, ketika dia berteriak, “Tuhan, tolonglah aku!” (ay.30).

Dan,pada saat kita meminta tolong kepada Tuhan, ketika kita mengangkat tangan kita, maka Tuhan menghampiri kita, memegang tangan kita dan menarik kita dari keterpurukan kita, sama seperti Kristus kemudian mengulurkan tangan-Nya kepada Petrus (ay.31).

Ketika Kristus mengulur tangan-Nya, Dia menghapus semua kebimbangan dan ketakutan Petrus, dan kemudian Kristus membawa Petrus naik ke perahu (ay.32). Sungguh menarik bahwa ketika Yesus menghapus ketakutan dan kemudian naik perahu bersama mereka, maka dikatakan bahwa ‘anginpun reda’.

Hanya ketenangan di dalam Tuhanlah yang dapat meredakan ketakutan kita. Maka, bagaimana dengan kehidupan iman kita? Apakah kita sedang bahkan sudah merasakan ketenangan dalam Tuhan? Atau justru kita masih dalam kebimbangan dan kebingungan karena banyak hal yang menjadi perhatian, permasalahan dan sekaligus penderitaan kita di dunia ini?

Dengan kata lain, kita belum bisa FOKUS hidup dalam kasih Tuhan.

 

DOA:

Ya Tuhan Allah, berilah aku senantiasa kekuatan dan kesetiaan iman kepada-Mu sehingga aku dapat menyerahkan seluruh hidup dan karyaku kepada-Mu. Berilah aku mata hati yang senantiasa dapat memandang karya-Mu yang menyelamatkan diriku dan mencukupkan diri hanya dalam kasih-Mu aku hidup tenang bersama-Mu. Amin.

LEAVE A COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *