RENUNGAN MINGGU PASKAH VII
Sukacita yang Melandasi Sikap Berkurban
- Minggu, 24 Mei 2020
- Injil Yoh 17:1-26
- Oleh: Rm Thomas Suratno SCJ
Yesus telah melakukan dan menyempurnakan penebusan-Nya melalui pengurbanan di atas kayu Salib. Pengurbanan ini merupakan pengalaman Yesus memberi segala-galanya sampai tuntas kepada Bapa. Di dalamnya, Ia menemukan sukacita.
Dalam Perjamuan malam terakhir Yesus berdoa, “Bapa telah tiba saatnya, permuliakanlah Anak-Mu, supaya Anak-Mu mempermuliakan Engkau.”
Setelah melakukan semua pekerjaan yang dipercayakan Bapa kepada-Nya maka Yesus merasa bahwa ini adalah kesempatan istimewa untuk menyerahkan-Nya kembali kepada Bapa. Artinya, semua karya dan Sabda yang dilakukan Yesus adalah Pekerjaan Bapa (Yoh 4:34; 5:36;17:4).
Ia telah melakukannya dan akan menyempurnakannya dalam penebusan berlimpah lewat pengurbanan di atas kayu Salib. Pengurbanan di Salib adalah pengalaman Yesus memberi segala-galanya sampai tuntas kepada Bapa.
Dalam doa-Nya yang tadi kita dengar, Yesus menunjukkan sikap penting yang dihayati selama hidup-Nya, yakni SUKACITA.
Mengapa Yesus bersukacita?
Alasannya adalah Pertama, Dia ber-Sukacita karena Ia memperkenalkan nama Bapa kepada semua orang yang telah percaya dan terhibur, “Mereka telah menerima Firman-Ku dan mereka tahu bahwa semuanya itu keluar atau berasal dari-Mu.”
Kedua, ber-Sukacita karena selama hidup-Nya Ia hanya mencari dan melakukan kehendak Bapa. Ia mewartakan dan berpartisipasi dalam hidup Ilahi Bapa. Ia membuat banyak orang mengenal Allah satu-satunya dan diri-Nya sebagai utusan Bapa.
Ketiga, Yesus ber-Sukacita karena saatnya telah tiba. Saat yang dinantikan selama berabad-abad dengan hasrat yang tinggi dan persiapan yang besar. Saat di mana semua orang akan mengingat kembali semua Karya dan Sabda, terutama pengurbanan-Nya di atas kayu salib bagi semua orang.
Pengalaman Yesus ini mirip dengan Paulus (Kis 20:17-27). Di mana Paulus, setelah melakukan perjalanan misioner di berbagai tempat, tidak kenal lelah dalam melakukan amanat Yesus, yaitu mewartakan Injil dan membaptis orang dalam nama Yesus maka sekarang Ia kembali ke Yerusalem.
Kepada para penatua Miletus, Paulus mengungkapkan isi hatinya, “Sejak kedatanganku ke tempat ini, aku melayani Tuhan dengan rendah hati. Aku menderita, banyak mencucurkan air mata dan mengalami banyak cobaan karena orang Yahudi mau membunuhku. Aku tak kenal lelah memberitakan dan mengajarkan. Aku bersaksi baik terhadap orang Yahudi maupun orang Yunani sehingga membuat mereka bertobat dan percaya.”
Setelah mengucapkan isi hatinya, terutama suka dan dukanya sebagai rasul, maka ia juga menyampaikan masa depannya kepada mereka. Sebagai seorang tawanan Roh, ia hendak pergi ke Yerusalem, di mana penjara dan sengsara menunggunya.
Namun dengan tegar Paulus berkata, “Aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun asal saja aku telah mencapai garis finis dan menyelesaikan semua pekerjaan yang ditugaskan Yesus yaitu mewartakan Injil–Nya.”
Luar biasa pengalaman Tuhan Yesus dan Rasul Paulus ini! Kita bisa ingat kembali apa yang dikatakan Yesus, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya,” (Yoh 15:13).
Perkataan ini diwujudkan secara sempurna dalam semangat pengurbanan diri. Yesus mengurbankan diri-Nya untuk menebus dosa manusia. Sedangkan, Rasul Paulus juga mengurbankan diri karena cintanya kepada Yesus dan umat, di mana ia pernah merasul.
Pertanyaan reflektif untuk kita semua: Apakah kita juga memiliki semangat rela berkurban, bahkan menyerahkan nyawa bagi Tuhan dan sahabat-sahabat kita? Marilah kita berjuang seperti Santo Paulus ‘sampai garis akhir’!
Doa:
Ya Tuhan Yesus, terima kasih kami ucapkan kepada–Mu karena cinta dan pengurbanan–Mu demi keselamatan kami. Mampukan kami untuk tetap mengimani-Mu dengan mau mewartakan Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat kami. Amin.
LEAVE A COMMENT