THE POWER OF MELAYANI

THE POWER OF MELAYANI

 

Dalam paradigma Yesus, pelayanan sama sekali tidak merendahkan martabat. Sebaliknya, justru di situlah kehormatan seseorangg itu terletak. Sebab, apa yang lebih mulia daripada “kerendahan hati”  dan apa yang lebih luhur ketimbang “penyangkalan diri”?

 

Melayani itu bukan sekadar aktif dalam kegiatan gereja. Bukan juga sekadar mau berkorban untuk melakukan tindakan-tindakan sosial.

Melayani juga menyangkut hati. Kalau kita aktif di gereja supaya semua keinginan dan ide kita dipenuhi, itu bukan pelayan melainkan juragan. Kalau kita mau mengorbankan waktu, tenaga, bahkan materi untuk membantu orang-orang miskin supaya kita populer dan mendapat pujian, itu bukan pelayan tetapi politikus.

Pendek kata, melayani bukan sekadar soal aksi melainkan juga motivasi.

Para pelaku bisnis malah lebih sering melihat arti strategis dari “pelayanan”. Di dunia bisnis telah lahir istilah-istilah yang sudah tidak asing lagi bagi kita, seperti “Customer Care”, “Service Center”, dan “After Sales Service”. Tindakan “service” telah menjadi kunci sukses di dunia bisnis.

Lalu, semangat seorang pelayan seperti apa yang sepatutnya kita miliki?

Pertama, semangat tanpa pamrih. Entah dihargai atau tidak, disenangi atau tidak, mendapat apa-apa atau tidak;yang penting kita melakukan tugas itu dengan baik.

Ada sebuah cerita. Suatu ketika, di sebuah departement store masuklah seorang wanita gelandangan. Pakaiannya kotor, compang-camping. Ia berkeliling melihat-lihat layaknya orang yang hendak membeli sesuatu.

Di depan sebuah baju yang dipajang ia berhenti. Seorang gadis pelayan mendekatinya, “Bisa saya bantu, Bu?” tanyanya ramah.

“Saya ingin mencoba baju ini,” kata si wanita gelandangan.

“Baik, Bu. Ruang gantinya ada di sebelah sana. Silakan Ibu ke sana. Saya akan bawakan bajunya.”

Wanita gelandangan itu lalu mencoba baju yang dipajang. Tidak hanya satu, ia mencoba baju yang lainnya. Kemudian satu lagi. Sampai lima baju. Si gadis pelayan tetap melayaninya dengan ramah. Senyumnya mengembang. Ia tidak kesal atau jengkel.

Begitu juga ketika wanita gelandangan itu ngeloyor pergi tanpa membeli satu pun baju-baju yang telah dicobanya. Si gadis pelayan mengantarnya sampai pintu keluar. Bahkan dengan sopan mengucapkan terima kasih atas kunjungan wanita gelandangan itu.

Rupanya ada seorang pria yang sejak tadi memperhatikan. Ia mendekati gadis pelayan tadi, “Wanita gelandangan itu sudah jelas tidak bermaksud membeli,” katanya mencela. “Kenapa kamu melayaninya, bahkan mengizinkannya mencoba baju-baju itu? Bukankah badan dan baju yang dikenakannya sangat kotor dan dekil?” tanyanya pula.

“Saya adalah pelayan di sini. Tugas saya melayani siapa pun yang datang ke sini sebaik-baiknya, entah orang itu datang untuk membeli atau tidak,” jawab pelayan itu tenang.

Begitulah seorang pelayan yang baik. Ia tidak akan terpengaruh oleh reaksi orang-orang di sekitarnya, entah dipuji atau dicaci. Ia tetap akan berkonsentrasi pada tugasnya, yakni melakukan yang terbaik dari yang bisa ia lakukan semampu dia, bukan semau dia.

Kedua, semangat tidak memilih-milih. Terlepas sebuah kegiatan pelayanan itu kita sukai atau tidak, kita minati atau tidak; kita tetap bisa mengerjakannya dengan senang hati.

Ketiga, semangat memberi. Artinya, kita melayani bukan untuk mendapatkan sesuatu, tetapi karena kita ingin memberikan sesuatu.

Mengapa demikian? Karena kita sadar sesadar-sadarnya betapa dalamnya, besarnya, dan luasnya kasih Tuhan dalam hidup kita. Sebagai ungkapan syukur, kita ingin berbagi dengan orang lain melalui pelayanan kita. Supaya orang lain pun merasakan sapaan kasih Tuhan, dan memuliakan Tuhan. “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dia-lah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm 11:36).

Dalam paradigma Yesus, pelayanan sama sekali tidak merendahkan martabat. Sebaliknya, justru di situlah kehormatan seseorangg itu terletak. Sebab, apa yang lebih mulia daripada “kerendahan hati”  dan apa yang lebih luhur ketimbang “penyangkalan diri”?

Ketika seseorang mampu membuktikan kemampuannya melayani orang lain, ia membuktikan bahwa ia mampu mengalahkan dirinya sendiri.

Orang yang melayani Tuhan harus mau menyangkal diri agar nama Tuhan saja yang dimuliakan senantiasa.  **

Agustinus Sugiarno SCJ

 

LEAVE A COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *