PROSES SANG GEMBALA MENUJU ALLAH

PROSES SANG GEMBALA MENUJU ALLAH

Ada ketertarikan besar Monsinyur mengenai siapa itu Allah. Di samping rahmat Allah begitu yang besar, ia juga menunjukkan kesungguhan yang besar dalam mencapai Allah.

 

Buku The Power of Menyerah dibedah di Aula SD Xaverius 1 Jambi, Minggu sore (2/12). Dr. Hendro Setiawan dan Dr. Yulius Sunardi SCJ menjadi penutur dalam acara yang dimoderatori Romo Wahyu Tri Haryadi SCJ ini. Belajar adalah kata kunci penuturan sore itu.

Analogi mendaki gunung kerinci dipakai Romo Sunardi membuka serangkaian pemaparannya. “Bayangkan kita mau menuju ke puncak Gunung Kerinci. Bayangkan kita akan berada di puncaknya, yang belum pernah dicapai orang,” ajak Romo Sunardi, yang juga seorang psikolog.

Jika di puncak Gunung Kerinci terdapat sesuatu yang menjadi keinginan masing-masing orang, maka hasrat untuk sampai ke puncak akan semakin besar. Keberanian akan tercipta.

“Dan menuju ke puncak Gunung Kerinci, tentu butuh tenaga ekstra. Butuh waktu lama, karena banyak tantangannya. Buku The Power of Menyerah merupakan proses peziarahan Monsinyur menuju Allah,” lanjut imam yang saat ini berkarya di Skolastikat SCJ, Yogyakarta ini.

Sama seperti puncak Gunung Kerinci, yang ada sesuatu sehingga menarik manusia untuk mendakinya, begitu pun proses hidup Mgr Sudarso yang dibukukan dalam biografi The Power of Menyerah.  “Di situ ada ketertarikan besar Monsinyur mengenai siapa itu Allah. Di samping rahmat Allah begitu yang besar, beliau juga menunjukkan kesungguhan yang besar dalam mencapai Allah,” papar Romo Sunardi.

Jalan kehidupan selalu meninggalkan jejak langkah. Jejak langkah suatu perbuatan, membiasakan manusia untuk melakukannya kembali. Ini seolah-olah otomatis menurut Romo Sunardi.

“Kecanduan internet dan gadget meninggalkan jejak dan menciptakan jalan menuju ke sana. Secara otomatis yang terpikir adalah gadget. Mengapa? Karena ada sistem memory itu,” kata Romo Sunardi.

Keutamaan

Mgr Sudarso SCJ juga mengalami otomatisasi yang sama, hanya jalannya yang berbeda. “Monsinyur adalah sosok yang rendah hati. Dia dekat dengan umat. Saya merasakan kedekatan itu. Ketika bertemu, selalu ada salam hangat,” tandas Fransiskus Xaverius Sutarno, Ketua Wilayah Bunda Maria, Paroki Santa Teresia, yang juga hadir dalam bedah buku karangan Romo Ignatius Elis Handoko SCJ itu.

Sikap rendah hati, sederhana, sukacita, dan reflektif, yang dirangkum menjadi keutamaan oleh Romo Sunardi, ternyata tidak begitu saja ada. Keutamaan ini dibentuk sedari kecil sejak dalam keluarga, hingga sekarang ini.

“Pada awalnya, Monsinyur tidak memiliki apapun juga tentang yang namanya kerendahan hati, kesederhanaan, dan lain-lain. Semuanya dimulai dari nol. Monsinyur belajar menciptakan jejak langkah menuju puncak Allah,” tegas Romo Sunardi.

Berjalan menuju Allah tidak semata-mata diarungi Uskup Agung Sudarso sendirian. Dia belajar dari orang-orang sekitarnya. “Karena ini merupakan jalan, pasti beliau belajar dari orang-orang sekitarnya. Untuk memiliki jalan keutamaan ini, perlu suatu bentuk latihan yang terus-menerus,” tandas Romo Sunardi.

 

Makna Menyerah

Menuju puncak Allah harus melewati jalan-Nya. Uskup Sudarso melewati jalan yang dinamai menyerah. “Menyerah seperti apa? Ada tiga kisah yang diceritakan dalam proses menyerah itu. Pertama, ketika di seminari. Beliau ingin masuk tarekat di Jawa, tapi romo magister ingin beliau masuk tarekat di Palembang. Itu pergulatan yang pertama. Sempat mau keluar, tapi akhirnya beliau menyerahkan diri,” kata Hendro.

Penyerahan di awal menjadikan orang-orang memanggil Sudarso muda dengan sebutan Romo. Bahkan dia sempat menjadi Provinsial Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ) Indonesia. Namun, dia ternyata harus menyerah lagi tatkala ditunjuk oleh Bapa Suci Yohanes Paulus II menjadi seorang uskup.

“Dalam buku dikisahkan, Monsinyur sempat lari 3 bulan. Berat badannya turun 5 kilogram, karena pergulatan. Kemudian beliau menyerah lagi. Jadi sebetulnya menyerahnya Monsinyur adalah menyerah kepada Tuhan,” jelas Hendro.

Mgr Sudarso juga merupakan seorang psikolog. Berbekal ilmu pengetahuan yang dimilikinya, dia mengolah stres tatkala memimpin sebuah Gereja Keuskupan. Makanan pun tidak sembarang masuk ke dalam tubuhnya. Namun, penyakit strok menimpanya.

“Mau mengambil sesuatu pun tidak bisa, apalagi menulis. Tanda tangan tidak bisa. Saya melihat strok yang dialami Monsinyur saat itu cukup berat. Jalan sangat sulit. Beliau menyerah,” kata Hendro.

Kata menyerah memang sering muncul dalam pembicaraan Uskup Sudarso di berbagai kesempatan. Misalnya saja, homili ketika Ekaristi. Menyerah, menurut Mgr Sudarso, merupakan ungkapan iman. Seorang beriman, mesti menyerah. Menyerah seperti apa?

“Menyerah yang tidak pasif, tetapi aktif,” kata Mgr Sudarso.

Pasca strok, Sang Gembala belajar lagi. “Kaki yang satu belajar dengan kaki yang lain, tangan yang satu belajar dengan yang lain,” pungkas Hendro.

Buku The Power of Menyerah menggunakan bahasa bertutur yang sangat ringan. Anda akan diajak mendalami kisah Mgr Sudarso SCJ bersama keluarga dari kecilnya, hingga saat ini. Kisah itu akan membawa dampak positif dalam hidup Anda. **

Kristiana Rinawati

LEAVE A COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *