MENJADI PEMENANG KEHIDUPAN

MENJADI PEMENANG KEHIDUPAN

Seseorang disebut pemenang, jika menjalani hidup tanpa pernah menyerah pada realitas yang mengingkari perjuangan dan pengorbanan. Dia disebut pemenang, jika tetap setia memilih Kristus sebagai jalan, kebenaran, dan hidup.

 

Komsos Paroki St Stefanus Cilandak bekerja sama dengan Penerbit Rumah Dehonian mengadakan bedah buku Kisah Sang Pemenang di Gedung Leo Dehon, Cilandak, 3 November 2018. Buku garapan Agustinus Guntoro SCJ ini merupakan biografi Thomas Martin Fix SCJ. Hadir sebagai pembicara acara tersebut ialah Romo FA Purwanto SCJ dan Romo YG Marwoto SCJ. Panitia kegiatan ini mempersembahkan hasil penjualan buku biografi untuk pendidikan calon SCJ, Novisiat St Yohanes Gisting.

Membuka diskusi, moderator Romo Elis Handoko SCJ menyebut tiga langkah bedah buku tersebut, yaitu: membaca, mendalami, dan meneladani. Dijelaskan, membaca melalui video pendek berisi cuplikan isi buku, mendalami pesan melalui seminar, dan meneladani melalui kesaksian-kesaksian sekitar keutamaan Tom Fix.

Kegagalan Seorang Tom Fix

Selaku pembicara pokok, Romo Purwanto menyebut beberapa poin yang terasa mengagetkan. Menurutnya, sebenarnya Tom Fix bisa dikatakan sebagai seorang Amerika yang “gagal”. Alasannya, Tom Fix lahir pada 1933, saat Amerika dalam kondisi sedang baik-baiknya. Ekonomi berlimpah. Namun, dia memilih jalan menjadi imam. Teologi yang berkembang pun teologi kemakmuran. Di masa anak-anak sampai remaja, sebenarnya Tom Fix dapat ikut menikmati. Dia “gagal” karena lebih memilih tugas misi, yang jauh dari negaranya. Dia lebih memilih jalan hidup yang tidak umum, yang tidak sesuai dengan mainstream zamannya.

Selain “gagal”, demikian Romo Purwanto, Tom Fix dinilai sebagai pribadi yang “naif”. Ketika seorang peserta bedah buku menanyakan makna “naif”, narasumber menyatakan bahwa sesungguhnya, naif itu bodoh, suatu perbuatan yang tidak masuk di akal. Namun demikian, “naif”-nya seorang Tom Fix ini lebih mengarah pada gaya hidup yang penuh kesederhanaan dan bersahaja. Ketika banyak pilihan yang menjanjikan, Tom Fix malah lebih memilih panggilan sebagai biarawan dan imamat, yang bersedia hidup miskin, murni, dan taat.

Banyak orang menggambarkan Tom Fix sebagai pribadi yang tulus, bersih, tidak pernah mengeluh, dan selalu melihat orang lain dari sisi positifnya. Lebih lanjut, ada yang mengatakan bahwa Tom Fix adalah teladan dalam segala hal, terutama dalam hal kesetiaan hidup, cinta Ekaristi, dan semangat doa.

Tetapi bagaimana Tom Fix bisa sampai kepada penghayatan yang seperti itu, buku akan mengajak kita untuk menelusuri perjuangannya, yang ternyata tidak selalu mulus dan mudah. Menutup ulasannya, pembicara meyakini bahwa Tom Fix, dengan segala keteladannya, telah membuka “pintu” surga bagi kita.

 

Mozaik Kesaksian

Pada tahapan meneledani, Romo Marwoto bercerita bahwa pada saat ia masih menjabat pastor Paroki Cilandak, Tom Fix adalah pastor rekan. Suatu ketika Tom Fix berkata, “Ada seorang yang butuh bantuan. Saudaranya dirawat di Rumah Sakit Fatmawati. Dia perlu dana sekitar dua juta. Saya hanya punya dua ratus ribu saja.”

Romo Marwoto mencium gelagat tidak enak. Ia meminta seseorang untuk mengklarifikasikan kebenaran berita teserbut ke Rumah Sakit. Dan benar dugaannya, nama seperti yang disebut oleh Tom Fix tidak ada. Lalu ia menyampaikan kepada Tom Fix bahwa dia kena tipu. “Lupakan saja dua ratus ribu yang pernah diberikan, tapi tidak perlu pikir kekurangan yang dia minta.”

Tom Fix masih bertanya, “Bagaimana kalau yang dikatakan benar?”

Ia tetap menggeleng tidak mau memberi. Tom Fix pun menjumpai orang yang meminta bantuan dana tersebut, sambil tersenyum berkata, “Saya hanya bisa membantumu dua ratus ribu. Pastor Paroki menolak memberikan sisa yang kamu perlukan!”

Mendengar kisah tersebut, hadirin tersenyum. Di balik kisah tersebut, Romo Marwoto hendak mengatakan bahwa rendah hati menjadi kata kunci terpenting dalam hidup Tom Fix. Ia juga pribadi yang murah senyum dan hidup suci.

Kesaksian lain datang dari Ibu Toto. Katanya, hal yang paling mengesankan adalah saat Tom Fix hadir pada malam duka kematian orangtuanya. Waktu itu, belum lama ia mendengar bahwa orangtua Tom Fix di Amerika juga dipanggil Tuhan. Maka bertanyalah ia, “Tidakkah Pastor rindu untuk pulang? Memberi penghormatan kepada almarhum?”  Saat itu Tom Fix menjawab, “Seperti halnya, saya melayani orangtua kalian. Di Amerika akan ada orang lain yang melayani orangtua saya!”

Ungkapan Tom Fix ini menggambarkan betapa ia sungguh mempunyai iman yang dalam dan sangat percaya pada penyelenggaraan Ilahi. Di sisi lain, totalitas pelayanan bagi umat tidak diragukan lagi, bahkan sampai harus mengorbankan diri untuk tidak memberikan waktu untuk keluarganya.

Sementara Ibu Maya mempunyai pengalaman lain yang diperoleh dari pengalaman berziarah bersama ke Tanah Suci. Sampai di Mesir banyak yang tidak bisa makan. Ibu Maya terkejut melihat Tom Fix tetap makan dengan enaknya. Dia bertanya, “Suka, ya Pastor? Cocok seleranya?”

Jawaban Tom Fix membuktikan kesahajaannya, “Tadi kita sudah berdoa bersama dan mohon berkat. Masak setelah diberkati, makanan tidak di makan, malah dibuang! Kan sayang.”

Kesaksian berikutnya ditampilkan oleh beberapa imam SCJ. Mereka sama-sama memberikan apresiasi tentang kesederhanaan dan kesucian hidup Tom Fix.

Romo Titus Waris Widodo SCJ mengawali kesaksiannya dengan gurauan, “Sekarang ini saya bertanya-tanya, kelak kalau saya sendiri mati, kira-kira apa yang akan ditulis mengenai diri saya oleh Pastor Elis, ya?” Yang ditanya dengan sigap langsung menjawab, “Yang mati saya duluan, Pastor!”

Di balik gurauan itu, hendak disampaikan bahwa pengalaman hidup Tom Fix sangatlah kaya dan luar biasa, sehingga ada banyak hal yang bisa ditulis dan direnungkan. Oleh karenanya, tantangan bagi SCJ lainnya, bukan supaya bisa ditulis, tetapi menghadirkan diri agar hidupnya mampu menginspirasi banyak orang untuk semakin dekat kepada Yesus, sebagai jalan, kebenaran, dan hidup.

Romo Suratno SCJ mengisahkan perjumpaannya dengan Tom Fix sejak ia masih kecil dan belum Katolik, lalu ketika di seminari hingga sudah menjadi imam. Dari semua pengalaman perjumpaan dengan Tom Fix, ia merasakan sentuhan yang mengesankan dari seorang imam yang kebapakan, murah hati, dan lurus hati seturut prinsip imannya.

Salah satu pengalaman Romo Kusmaryadi didapatinya ketika berkarya di India bersama Tom Fix. Dari kebersamaannya itu, Romo Kus mengatakan, “Siapa saja yang mengenal Tom Fix  pasti mengatakan hal yang sama. Ia merupakan seorang pribadi yang rendah hati dan mau merendahkan hatinya sampai ke paling dasar.”

 

Sang Pemenang

Dalam closing statement-nya, moderator bedah buku menutupnya dengan penekanan makna menjadi pemenang kehidupan. Bunyinya kira-kira demikian.

Menjadi pemenang kehidupan berarti setia bertekun di jalan kekudusan hidup sehari-hari, meski realitas tak senyaman yang diharapkan. Menang bukan berarti memiliki hidup tanpa gelap, sakit, gelisah, gagal, kecewa, atau mati.

Seseorang disebut pemenang, jika menjalani hidup tanpa pernah menyerah pada realitas yang mengingkari perjuangan dan pengorbanan. Dia disebut pemenang, jika tetap setia memilih Kristus sebagai jalan, kebenaran, dan hidup. Dialah si pemenang, yang menjelang garis finis berseru dalam iman, “Ke dalam tangan-Mu, ku serahkan hidupku!”

Dan inilah jalan kekudusan sehari-hari ala Tom Fix itu: Tersenyum, menyapa, menghargai, bersyukur, berdoa,… Lakukanlah hal-hal kecil sehari-hari itu dengan cinta dan kegembiraan yang besar. Niscaya hidupmu akan menjadi berkat bagi yang lain.**

Agus P Rahardjo

 

LEAVE A COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *